Kelompok Budaya Flores
Semester :
IV
Mata Kuliah :
Teologi Moral Fundamental II
Dosen :
Largus Nadeak, Lic. S. Th.
Keutamaan dalam Masyarakat Flores
“
Dalam Prespektif Budaya Lamaholot”
A.
Latarbelakang dan Keutamaan
Kepulauan Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
Indonesia. Pulau Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama
Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Sejarah kependudukan
masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh enam kelompok etnik
yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya.
Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial
budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow,
1989; Taum, 1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah
asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Ditinjau
dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di Flores (Keraf,
1978; Fernandez, 1996). Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis
Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong,
dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga,
Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi
bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot
(meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot
Tengah). Terakhir kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau
Lembata bagian selatan).
Keenam
kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul genealogis dan budaya
yang sama. [1]
Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat
menjadi daya tarik . Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk
budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu
melestarikannya. Upacara- upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri
khas bagi daerah Flores. Hal ini merupakan sebuah contoh “keutamaan” yang
tercermin dalam ragam bentuk kebudayaan masyarakat Flores pada umumnya.
B.
Bersumber pada Keutamaan Teologis
Kristianitas sudah dikenal sejak permulaan
abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan.
Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah
lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)–sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi
asli warisan nenek-moyang. Di
samping itu, unsur-unsur historis, yakni
tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula
dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem
kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di
Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran
agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan ‘wujud tertinggi’ orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa
orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi.
Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman
hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi
(tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat
orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi
Bumi.
Tabel
1 Wujud Tertinggi Orang Flores
NO
|
KABUPATEN
|
WUJUD TERTINGGI
|
MAKNA
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
|
Lera Wulan Tanah Ekan
Lera Wulan Tanah Ekan
Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero
Wulang Reta
Wula Leja Tana Watu
Deva zeta-Nitu zale
Mori Kraeng, bergelar: Tana wa
awang eta//Ine wa ema eta
|
Matahari-Bulan-Bumi
Matahari-Bulan-Bumi
Bumi-Matahari-Bulan
Bulan-Matahari-Bumi
Langit-Bumi
Tanah di bawah, langit di atas
|
Selain
itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan
tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara
alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat
upacara ritual orang Flores.
Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang
Flores
NO
|
KABUPATEN
|
NAMA TEMPAT
|
KETERANGAN
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
|
Nuba Nara
Watu Make
Watu Boo
Vatu Leva – Vatu Meze
Compang – Lodok
|
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir
|
Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di atas merupakan tempat dilaksanakannya
persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen,
pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara
ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi
sosial dan legitimasi status sosial. Ritus persembahan di altar tradisional itu
mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores. [3]
C. Keutamaan Orang Flores: Dalam
Prespektif Budaya Lamaholot
Keutamaan berasal dari kata arete (yunani) dan virtus
( latin). kedua kata tersebut dipakai untuk menunjukan keadaan manusia yang
terlatih dan unggul dalam memenuhi tugas dan tujuan hidupnya. berkaitan dengan
arti etimologis tersebut, dalam kebudayaan masyarakat flores terkhusus dalam
budaya lamaholot terdapat sebuah istilah yang disebut mae senare atau mae dike’
budi sare’ yang mau menunjukan bahwa
orang tersebut memiliki kehidupan yang baik dan benar yang selalu diwujudkan
lewat sikap dan perbutannya. Secara etimologi mae senare berarti kebaikan yang sempurna atau orang yang
berkualitas dalam sikap atau tindakannya. Sedangkan mae dike’ budi sare’ berarti orang yang berhati bijaksana dan
memiliki keunggulan dalam dalam hidupnya lewat sikap serta tindakan yang baik
dan benar dalam kehidupan masyarakat. kebaikan dan kebenaran itu besifat tetap
dalam dirinya.
Konsep keutamaan bagi masyarakat
lamaholot yang terungkap dalam istilah mae
dike’ budi sare’ memiliki kriteria sebagai berikut:
Ø Sebuah kebiasaan yang telah mendarah
daging
Ø Tidak terbatas pada pikiran dan
perkataan yang baik, melainkan pda sikap dan tindakan yang baik (ate’ wura, tilu mata, lima lei mae dike’)
Ø Diyakini sebagai warisan orang tua
atau dari nenek moyang (ema bapa re’e nei
heti lodo)
Ø Butuh waktu yang untuk
mendapatkannya
Ø Tau dan mampu melakukan yang baik
dan mengelakan yang buruk (noi mae no’o awada)
Beberapa contoh keutamaan sebagai
berikut:
1. Percaya kepada Tuhan yang Kuasa
Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana
sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut ‘Lera Wulan Tanah Ekan’ atau
Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan
diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat kenyataan bahwa seseorang
bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berucap: “Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan”:
Tuhan mempunyai mata (untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, ia maha
tahu, ia maha adil, ia akan bertindak adil. Pada peristiwa kematian,
orang biasanya berkata: “Lera Wulan Tanah
Ekan guti na-en”: Tuhan mengambil pulang miliknya.
Pada perayaan syukur sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat
untuk mempersembahkan sebagian hasil panen itu sebagai tanda ucapan syukur
kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Adapun doa yang didaraskan
sebagai berikut:
Bapa Lera Wulan lodo hau
Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
Ema Tanah Ekan gere haka
Ibu Tanah Ekan bangkitkan ke sini
Tobo
tukan
Duduklah di tengah
Pae bawan
Hadirlah di antara kami
Ola di ehin kae
(Karena) kerja ladang sudah berbuah
Here di wain kae
(Karena) menyadap tuak sudah berhasil
Goong molo
Makanlah terlebih dahulu
Menu wahan
Minumlah mendahului kami
Nein kame mekan
Barulah kami makan
Dore menu urin
Barulah kami minum kemudian
2.
Kejujuran dan Keadilan
Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada
Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi
orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul sebagai keyakinan
bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan
Tanah Ekan no-on matan . Tuhan melihat semua perbuatan manusia,
sekalipun tersembunyi. Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik.
Sifat dan tabiat kejujuran ini sangat
menarik perhatian Vatter (1984: 56). Dia mencatat, hormat terhadap hak milik
oang lain tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk
pelanggaran berat di Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat
ini pencuri dikenai sangsi adat berupa denda yang sangat besar.
3.
Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual
Studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan
sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan
penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual
lainnya yakni nuba nara (altar/batu
pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya
terletak di halaman korke). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan
adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya.
Mitos cerita asal-usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan
otoritas dan kekuasaan. Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah
legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering
dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual
formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi
sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu,
dan sebagainya.
Nuba-nara atau altar/batu pemujaan
merupakan simbol kehadiran Lera Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera
Wulan turun dan bersatu dengan Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang
dilengkapi dengan Nama adalah
“gereja” tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka.
Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan orang
Flores di satu pihak menunjukkan unsur historis (warisan zaman Portugis)
tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Ibu Bumi, seperti dalam ungkapan
Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan).
4. Rasa
Kesatuan Orang Flores
Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada
tingkat kampung atau Lewo. Masyarakat
Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui
ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya.
Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir
tidak melampaui batas kampung (Vatter, 1984: 72-73).
Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian
genealogis, historis maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan
mereka lebih disebabkan faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun
demikian, pola organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran
tentang kohesi sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis. Dalam
kampung-kampuang itu tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang
kemudian digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama).
Itulah sebabnya orang Flores cenderung menyapa sesamanya dengan sebutan
kekerabatan (Om, Tante, Kakak, Adik atau mengaku sebagai saudara). Mereka juga
bisa menghargai perbedaan politis, agama, etnis bila mereka telah diikat dalam
satu kesatuan tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti ini, kadang-kadang
membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris.
kebersamaan suku. Itulah sebabnya
ruang bagi ekspresi dan aktualisasi potensi pribadi menjadi lebih terbatas,
sebaliknya kebersamaan menjadi lebih bernilai. Mungkin ini salah satu kendala
budaya yang menghambat hal itu, di samping faktor-faktor teknis lain seperti
peluang, modal, dan sebagainya.
5.
Penutup
Agama
Katolik hanya bisa berakar dalam kebudayaan sebuah kelompok etnis jika Katolik
sudah terungkap dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan masyarakat
pendukung etnis itu, dan bahkan memimpin dan mengarahkan kehidupan
sosial-budaya setempat. Injil sudah harus ikut mempengaruhi, membentuk,
mengarahkan, dan merasuk ke dalam sistem nilai dan sistem budaya lokal. Agama
Katolik hanya akan berakar, sejauh ia mampu menginjili sistem keagamaan
masyarakat. Jika tidak, Katolik akan tetap tinggal di luar.
Dalam kaitan dengan ini, maka proses
inkulturisasi, bagi saya, adalah mengangkat nilai-nilai dasar dan paham-paham
inti budaya kelompok etnis tertentu ke dalam interaksi dinamis dengan
Kitab Suci dan tradisi gereja. Dalam interaksi ini paham-paham budaya asli akan
bertemu dengan ilham esensial gereja sebagai wahyu dan konteks-konteks wahyu
itu sendiri. Hal ini membutuhkan proses yang panjang, dan di sisi
akademis membutuhkan studi dan diskusi yang mendalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Barlow, Colin, Ria Gondowarsito,
A.T. Birowo, S.K.W. Jayasurya, 1989. Potensi-
potensi Pengembangan Sosial Ekonomi
di Nusa tenggara Timur. Canberra;
Australian
National University.
Daeng, Hans J., 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan:
Tinjauan Anropologis
Pengantar
Dr. Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fernandez, Inyo Yos., 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores:
Kajian
Linguistik Historis komparatif
terhadap Sembilan Bahasa di Flores.
Ende: Nusa
Indah.
Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu
dan
Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.
Ghono, John, 1992. “Nilai Religius
Budaya NTT Sebelum dan Sesudah Masuknya
Pengaruh
Kristianitas” Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian
Budaya Lokal.
Yogyakarta:
Forum Studi Eureka.
Graham, Penelope, 1985. Issues in Social Strukcture in Eastern
Indonesia. New York:
Oxford
University.
Keraf, Gregorius, 1978. Morfologi Dialek Lamalera. Disertasi Doktor
Ilmu Sastra
Universitas Indonesia. Ende: Percetakan Offset Arnoldus.
Kunst, J., 1942. Music in Flores: A Study of the Vocal and
Instrumental Music Among the
Tribes Living in Flores. English Translation by Emile van Loo. Leiden: E. J. Brill.
Mubyarto, dkk., 1991. Etos kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat
Sumba, Rote, Sabu dan
Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: P3PK UGM.
Muskens, M.P.M., 1979. Partner in
Nation Building: The Catholic Church in
Indonesia. Aachen: Missio Aktuell Verlag.
Orinbao, Sareng, 1969. Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores Warisan
Purba. Ende:
Pertjetakan
Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah.
Pinto da Franca, Antonio. 2000. Pengaruh Portugis di Indonesia. Diterjemahkan
oleh
Pericles
Katoppo dari Portuguese Influence in
Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Taum, Yoseph Yapi, 1994a.
“Intervensi Budaya dalam Pengentasan Kemiskinan” dalam
harian
BERNAS, 3 Juni 1994.
Taum, Yoseph Yapi, 1994b. “Sastra
dan Bahasa Ritual dalam Tradisi Lisan Masyarakat
Flores
Timur” dalam Basis No. XLIII-6. Yogyakarta:
Andi Offset.
Taum, Yoseph Yapi, 1997a. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme,
Strukturalisme,
Pascastrukturalisme, Sosiologi,
Resepsi. Ende: Nusa Indah.
Taum, Yoseph Yapi, 1997b. Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi
Puisi Lisan
Masyarakat Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor.
Widiyatmika, Munandjar, dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur.
Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker
im
Tropishen Holland oleh S.D. Sjah. Ende: Nusa Indah
Dr. Inyo Yos Fernandez mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa di Flores, termasuk
bahasa Kedang, bersumber pada sebuah bahasa proto yang sama, yang Bahasa Flores
(Flores Language). Dengan demikian, ada kekerabatan bahasa (dan tentu saja juga
budaya) di kalangan Orang Flores. Bukti lain adanya kekerabatan ini diberikan
oleh Fernandez (1990) tentang agama dan kepercayaan, dan Orinbao (1960) tentang
mitos dan ritual asli orang Flores.
Di
beberapa tempat di Flores Timur dan Lembata orang mendirikan ‘korke’ atau
‘koker bala’ di lokasi Nuba Nara itu. Menurut studi Vatter (1984), korke atau
koker bala merupakan pengaruh budaya kaum imigran yang berasal dari Sina Jawa.
Di
Flores Timur, pembagian suku didasarkan pada kedudukan dan fungsi dalam
melakukan upacara ritual di Nuba Nara. Orang yang bertugas memegang kepala
hewan korban adalah suku
Ama Koten;
yang memegang bagian belakang hewan korban
Ama
Kelen; yang bertugas membacakan doa
Ama
Marang, dan yang membunuh hewan korban
Ama
Hurint (Taum, 1997: 8).