Rabu, 01 Mei 2019

Frasa budaya Lamaholot


Nama              : Yordianus Pajo Hewen                 
NIM                : 170510061
Mata Kuliah  : Moral Fundamental II
Dosen              : Largus Nadeak, Lic. S. Th.

Ø  Budaya Lamaholot (Flores Timur)
“Pana gawe ma’a sare-sare, pehe lei lima ma’a ta’a-ta’a, ne oli glekat lewotana”
(Pergilah dan lakukanlah segala sesuatu dengan sebaik-baiknya demi kemajuan kampung halamanmu)

            Dalam tradisi budaya Lamaholot, khususnya daerah Tanjung Bunga dan Lewolema, terdapat sebuah ungkapan yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Ungkapan itu ialah: ““Pana gawe ma’a sare-sare, pehe lei lima ma’a ta’a-ta’a, ne oli glekat lewotana”. Secara harafiah dapat diartikan: melangkah pergi dengan sebaik-baiknya, peganglah tangan dan kaki seerat-eratnya dan pulanglah melayani kampungmu. Ungkapan ini adalah sebuah bentuk nasihat yang biasa diterima oleh seseorang yang hendak meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama, baik itu pergi mengenyam pendidikkan atau hendak mencari pekerjaan di tanah rantau.  Ungkapan ini diberikan secara lansung oleh ketua suku atau orang tua kepada anak mereka dan diyakini mempunyai kekuatan yang dapat membuat seseorang berhasil dalam belajar atau pun dalam bekerja. Dengan keyakinan ini, seseorang yang hedak berpergian baik untuk bersekolah atau pun bekerja tidak akan terasa lengkap tanpa memperoleh ungkapan tersebut.
            Terjemahan dalam bahasa Indonesia “Pergi dan lakukanlah segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, demi kemajuan kampung halamanmu”, tidak secara penuh mengungkapkan makna terdalam dari ungkapan tersebut. Namun, jika ditelusuri lebih jauh dari setiap kata itu, kita akan menemukan makna terdalam dari ungkapan tersebut.  “Melangkah pergi dengan sebaik-baiknya” bermakna bahwa segala bentuk tindakan yang dilakukan haruslah baik dan benar. Selain itu, kalimat “peganglah tangan dan kaki seerat-eratnya”, bermakna bahwa apa yang benar dan baik yang telah didapatkan baik lewat pengajaran orang tua atau yang lainnya, harus tetap dipegang teguh sebagai pedoman utama dalam hidup. Sedangkan dalam kalimat “Pulanglah dan layanilah kampung halamanmu”, bermakna bahwa ilmu atau harta yang diperoleh harus membuatnya tetap rendah hati serta siap sedia untuk mengorbankan dan membagikan apa yang telah diperolehnya. Apa saja yang ia peroleh tidak boleh membuatnya menjadi sombong dan egois, melainkan diperuntukkan demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
           







Kelompok Budaya Flores
Semester                   : IV
Mata Kuliah             : Teologi Moral Fundamental II
Dosen                         : Largus Nadeak, Lic. S. Th.

Keutamaan dalam Masyarakat Flores
“ Dalam  Prespektif  Budaya Lamaholot”

A. Latarbelakang dan Keutamaan
      Kepulauan  Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh enam kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
            Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996). Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok  etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah). Terakhir kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul genealogis dan budaya yang sama. [1]
      Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik . Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara- upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Hal ini merupakan sebuah contoh “keutamaan” yang tercermin dalam ragam bentuk kebudayaan masyarakat Flores pada umumnya.
B. Bersumber pada Keutamaan Teologis
            Kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)–sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang.  Di samping itu, unsur-unsur  historis,  yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
             Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan ‘wujud tertinggi’ orang Flores. Tabel itu  menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi.
            Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores

NO
KABUPATEN
WUJUD TERTINGGI
MAKNA
1.
2.
3.

4.
5.
6.
Flores Timur
Lembata
Sikka

Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
Lera Wulan Tanah Ekan
Lera Wulan Tanah Ekan
Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta
Wula Leja Tana Watu
Deva zeta-Nitu zale
Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta
Matahari-Bulan-Bumi
Matahari-Bulan-Bumi
Bumi-Matahari-Bulan

Bulan-Matahari-Bumi
Langit-Bumi
Tanah di bawah, langit di atas

Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia   dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.

Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores

NO
KABUPATEN
NAMA TEMPAT
KETERANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Flores Timur
Lembata
Sikka
Ende/Lio
Ngadha
Manggarai
Nuba Nara [2]
Nuba Nara
Watu Make
Watu Boo
Vatu Leva – Vatu Meze
Compang – Lodok
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir dan Dolmen
Dolmen
Menhir dan Dolmen
Menhir
           
            Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritus persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores. [3]
C. Keutamaan Orang Flores: Dalam Prespektif  Budaya Lamaholot
Keutamaan berasal dari kata arete (yunani) dan virtus ( latin). kedua kata tersebut dipakai untuk menunjukan keadaan manusia yang terlatih dan unggul dalam memenuhi tugas dan tujuan hidupnya. berkaitan dengan arti etimologis tersebut, dalam kebudayaan masyarakat flores terkhusus dalam budaya lamaholot terdapat sebuah istilah yang disebut mae senare atau mae dike’ budi sare’  yang mau menunjukan bahwa orang tersebut memiliki kehidupan yang baik dan benar yang selalu diwujudkan lewat sikap dan perbutannya. Secara etimologi mae senare berarti kebaikan yang sempurna atau orang yang berkualitas dalam sikap atau tindakannya. Sedangkan mae dike’ budi sare’ berarti orang yang berhati bijaksana dan memiliki keunggulan dalam dalam hidupnya lewat sikap serta tindakan yang baik dan benar dalam kehidupan masyarakat. kebaikan dan kebenaran itu besifat tetap dalam dirinya.
            Konsep keutamaan bagi masyarakat lamaholot yang terungkap dalam istilah mae dike’ budi sare’ memiliki kriteria sebagai berikut:
Ø  Sebuah kebiasaan yang telah mendarah daging
Ø  Tidak terbatas pada pikiran dan perkataan yang baik, melainkan pda sikap dan tindakan yang baik (ate’ wura, tilu mata, lima lei mae dike’)
Ø  Diyakini sebagai warisan orang tua atau dari nenek moyang (ema bapa re’e nei heti lodo)
Ø  Butuh waktu yang untuk mendapatkannya
Ø  Tau dan mampu melakukan yang baik dan mengelakan yang buruk (noi mae no’o awada)
Beberapa contoh keutamaan sebagai berikut:      
1. Percaya kepada Tuhan yang Kuasa
           
Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut ‘Lera Wulan Tanah Ekan’ atau Tuhan Langit dan Bumi.  Orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat kenyataan bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berucap: “Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan”: Tuhan mempunyai mata (untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, ia maha tahu, ia maha adil, ia akan bertindak adil.  Pada peristiwa kematian, orang biasanya berkata: “Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en”: Tuhan mengambil pulang miliknya.
            Pada perayaan syukur sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan sebagian hasil panen itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Adapun doa yang didaraskan sebagai berikut:
            Bapa Lera Wulan lodo hau                  Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
            Ema Tanah Ekan gere haka                Ibu Tanah Ekan bangkitkan ke sini
            Tobo tukan                                          Duduklah di tengah
            Pae bawan                                           Hadirlah di antara kami
            Ola di ehin kae                                                (Karena) kerja ladang sudah berbuah
            Here di wain kae                                 (Karena) menyadap tuak sudah berhasil
            Goong molo                                         Makanlah terlebih dahulu
            Menu wahan                                        Minumlah mendahului kami
            Nein kame mekan                                Barulah kami makan
            Dore menu urin                                   Barulah kami minum kemudian
2. Kejujuran dan Keadilan

Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan .  Tuhan melihat semua perbuatan manusia, sekalipun tersembunyi.  Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik.
            Sifat dan tabiat kejujuran ini sangat menarik perhatian Vatter (1984: 56). Dia mencatat, hormat terhadap hak milik oang lain tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk pelanggaran berat di Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat ini pencuri dikenai sangsi adat berupa denda yang sangat besar.                        
3. Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual

Studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya.
            Mitos cerita asal-usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan. Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan sebagainya.                   
            Nuba-nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang dilengkapi dengan Nama adalah “gereja” tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka. 
            Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan orang Flores  di satu pihak menunjukkan unsur historis (warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Ibu Bumi, seperti dalam ungkapan Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan).
4. Rasa Kesatuan Orang Flores
            Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo.  Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung  (Vatter, 1984: 72-73).
            Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis, historis maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan mereka lebih disebabkan faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun demikian, pola organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran tentang kohesi sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis. Dalam kampung-kampuang itu tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang kemudian digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama).
            Itulah sebabnya orang Flores cenderung menyapa sesamanya dengan sebutan kekerabatan (Om, Tante, Kakak, Adik atau mengaku sebagai saudara). Mereka juga bisa menghargai perbedaan politis, agama, etnis bila mereka telah diikat dalam satu kesatuan tempat tinggal.   Rasa kesatuan seperti ini, kadang-kadang membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris.

kebersamaan suku. Itulah sebabnya ruang bagi ekspresi dan aktualisasi potensi pribadi menjadi lebih terbatas, sebaliknya kebersamaan menjadi lebih bernilai. Mungkin ini salah satu kendala budaya yang menghambat hal itu, di samping faktor-faktor teknis lain seperti peluang, modal, dan sebagainya.
5.    Penutup
Agama Katolik hanya bisa berakar dalam kebudayaan sebuah kelompok etnis jika Katolik sudah terungkap dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan masyarakat pendukung etnis itu, dan bahkan memimpin dan mengarahkan kehidupan sosial-budaya setempat. Injil sudah harus ikut mempengaruhi, membentuk, mengarahkan, dan merasuk ke dalam sistem nilai dan sistem budaya lokal. Agama Katolik hanya akan berakar, sejauh ia mampu menginjili sistem keagamaan masyarakat. Jika tidak, Katolik akan tetap tinggal di luar.
 Dalam kaitan dengan ini, maka proses inkulturisasi, bagi saya, adalah mengangkat nilai-nilai dasar dan paham-paham inti budaya kelompok etnis tertentu  ke dalam interaksi dinamis dengan Kitab Suci dan tradisi gereja. Dalam interaksi ini paham-paham budaya asli akan bertemu dengan ilham esensial gereja sebagai wahyu dan konteks-konteks wahyu itu sendiri.  Hal ini membutuhkan proses yang panjang, dan di sisi akademis membutuhkan studi dan diskusi yang mendalam.

























                                               DAFTAR PUSTAKA


Barlow, Colin, Ria Gondowarsito, A.T. Birowo, S.K.W. Jayasurya, 1989. Potensi-
potensi Pengembangan Sosial Ekonomi di Nusa tenggara Timur.  Canberra;
Australian National University.
Daeng, Hans J., 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Anropologis
Pengantar Dr. Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fernandez, Inyo Yos., 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian
Linguistik Historis komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa
Indah.
Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan
Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.
Ghono, John, 1992. “Nilai Religius Budaya NTT Sebelum dan Sesudah Masuknya
Pengaruh Kristianitas” Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian Budaya Lokal.
Yogyakarta: Forum Studi Eureka.
Graham, Penelope, 1985. Issues in Social Strukcture in Eastern Indonesia. New York:
Oxford University.
Keraf, Gregorius, 1978. Morfologi Dialek Lamalera. Disertasi Doktor Ilmu Sastra
Universitas Indonesia. Ende: Percetakan Offset Arnoldus.
Kunst, J., 1942. Music in Flores: A Study of the Vocal and Instrumental Music Among the
Tribes Living in Flores. English Translation by Emile van Loo. Leiden: E. J. Brill.
Mubyarto, dkk., 1991. Etos kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan
Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: P3PK UGM.
Muskens, M.P.M., 1979. Partner in Nation Building: The Catholic Church in 
Indonesia.  Aachen: Missio Aktuell Verlag.
Orinbao, Sareng, 1969. Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba. Ende:
Pertjetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah.
Pinto da Franca, Antonio. 2000. Pengaruh Portugis di Indonesia. Diterjemahkan oleh
Pericles Katoppo dari Portuguese Influence in Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Taum, Yoseph Yapi, 1994a. “Intervensi Budaya dalam Pengentasan Kemiskinan” dalam
harian BERNAS, 3 Juni 1994.
Taum, Yoseph Yapi, 1994b. “Sastra dan Bahasa Ritual dalam Tradisi Lisan Masyarakat
Flores Timur” dalam Basis No. XLIII-6. Yogyakarta: Andi Offset.
Taum, Yoseph Yapi, 1997a. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme,
Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah.
Taum, Yoseph Yapi, 1997b. Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan
Masyarakat Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor.
Widiyatmika, Munandjar, dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker
im Tropishen Holland oleh S.D. Sjah. Ende: Nusa Indah





[1] Dr. Inyo Yos Fernandez mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa di Flores, termasuk bahasa Kedang, bersumber pada sebuah bahasa proto yang sama, yang Bahasa Flores (Flores Language). Dengan demikian, ada kekerabatan bahasa (dan tentu saja juga budaya) di kalangan Orang Flores. Bukti lain adanya kekerabatan ini diberikan oleh Fernandez (1990) tentang agama dan kepercayaan, dan Orinbao (1960) tentang mitos dan ritual asli orang Flores.
[2] Di beberapa tempat di Flores Timur dan Lembata orang mendirikan ‘korke’ atau ‘koker bala’ di lokasi Nuba Nara itu. Menurut studi Vatter (1984), korke atau koker bala merupakan pengaruh budaya kaum imigran yang berasal dari Sina Jawa.
[3] Di Flores Timur, pembagian suku didasarkan pada kedudukan dan fungsi dalam melakukan upacara ritual di Nuba Nara. Orang yang bertugas memegang kepala hewan korban adalah suku Ama Koten; yang memegang bagian belakang hewan korban Ama Kelen; yang bertugas membacakan doa Ama Marang, dan yang membunuh hewan korban Ama Hurint (Taum, 1997: 8).