FEBRONIANISME
Pengantar
Hubungan
antara Gereja dan negara selalu mengalami persoalan sepanjang
sejarah.Pertentangan antara kedua pemimpin tersebut, baik raja maupun paus
berlandaskan pada pengakuan otoritas yang mereka miliki.Pengakuan atas otoritas
kepausan dalam Gereja mendapat perlawanan dari pihak negara dan juga datang
dari pihak Gereja itu sendiri. Perlawanan terhadap sentralisasi dan infabilitas
kepausan muncul secara terang-terangan
sekitar abad ke-18, yang berkembang dari Perancis menuju ke Jerman. Pada
masa ini, muncul berbagai macam gerakan yang berusaha mengembalikan cara
pandang yang benar atas otoritas paus sesuai dengan kitab suci dan tradisi kuno
Gereja.Pandangan bahwa paus bukan di atas segala-galanya, mendorong para teolog
dan kanonis untuk membuat penelitian berkaitan dengan kedudukan historis
kepausan. Salah satu tokoh asal jerman yang melakukan penelitian berkaitan
dengan kedudukan otoritas kepausan ialah seorang uskup Auxsilier Trier dengan
nama samaran Justinus Febronius. Dibawah pengaruh aliran Galikanisme, Febronius
menghasilkan sebuah tulisan mengenai keadaan Gereja dan kekuasaan sah yang
dimiliki paus sebagai uskup Roma.Ia memandang bahwa otoritas kepausan telah
diperluas melampaui batas-batas yang sebenarnya.Penelitiannya membuktikan bahwa
otoritas tertinggi dalam Gereja kuno, bukanlah terletak pada paus, melainkan
pada uskup dan konsili-konsili.Pandangan Febronius tersebut dituangkan dalam
sebuah buku dan berhasil disebarluaskan dengan cepat.[1]Pembahasan
infabilitas paus menimbulkan pro-kontra dalam kalangan Gereja dan
negara.Munculnya gerakan ini memberi peluang besar bagi pemerintah sipil untuk
semakin menguasai Gereja, sebab pada masa ini Gereja dikaitkan dengan negara
federal.Sebagian besar uskup diangkat dari para pangeran kerajaan yang
menginginkan jabatan ganda.[2]Meskipun
mendapat dukungan penuh dari pemerintah sipil, namun pandangan tersebut ditolak
secara jelas dari pihak Gereja.Takhta suci dengan tegas menentang tulisan Febronius dan mencegah penyebaran bukunya.
Situasi
Gereja Abad
ke-18
Abad
ke-18 merupakan masa yang sangat sulit bagi semua Gereja kristen, khususnya Gereja Katolik Roma. Pada abad ini, Gereja Katolik
Roma lebih menampakan kemunduran daripada kemajuan
atau perkembangan.Jika
dilihat dari luar Gereja katolik Roma masih memiliki kekuasaan, sebab Gereja
Katolik Roma masih memiliki kekayaan, dukungan negara, dan privilege yang sulit
dihitung.Namun, apabila dilihat dari dalam, sebenarnya Gereja mengalami
keguncangan, khususnya dalam hal wibawa.Hal ini dapat dilihat dari perselisihan
yang muncul setiap tahunnya.Kemunduran ini akhirnya menimbulkan perbedaan yang
sungguh-sungguh nyata di dalam kehidupan para imam.Kenyataan ini ditunjukan
oleh pemenuhan dunia klerus yang tidak mampu membedakan tuntutan imam yang
nyata dengan asesoris-asesoris yang hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pribadi dan bukan kebutuhan Gereja dan agama.Posisi yang enak tetap
dipertahankan oleh Gereja meskipun hal tersebut sebenarnya sudah tidak cocok
lagi.Keinginan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sangat nyata dianut oleh tahta suci.Menjadi
pemicu timbulnya gerakan-gerakan
pembaharu seperti Febronius dan
Gallikan.Agama harus toleran terhadap semua pemikiran yang ada, khususnya
terhadap latihan kesalehan, dogma-dogma, sakramen-sakramen, dan seluruh organisasi
klerikal. Gerakan-gerakan yang demikian dapat dihadapi dengan cara tradisional.[3]
Pada
situasi ini para pemimpin Gereja katolik tidak memiliki kejelian dan ketajaman
yang sangat dibutuhkan pada jaman itu.Misalnya, pengembangan antropologis untuk
reorientasi dan untuk menjawab pesan-pesan yang muncul pada saat itu.Para
pemimpin Gereja juga tidak tidak mampu membersihkan kekacauan yang berakar pada
abad pertengahan yang berkaitan dengan perbedaan antara struktur klerikal riil
berdasarkan Injil dan struktur Gereja aristrokratik ancien regime.[4]
Menjelang
masa akhir regime kuno, banyak
institusi Gerejani yang tidak berfungsi dengan baik.Salah satu sumber
ketidakpuasan adalah sistem benefice.Selain
itu, perlu dicatat juga persoalan-persoalan dalam sistem monastic.Meskipun, pada saat itu banyak rahib yang hidup dan
sungguh-sungguh berusaha menghidupi panggilannya dengan benar.Namun, dunia
telah memandang bahwa biara tidak lagi menjadi tempat untuk menghidupi
keutamaan Injili.Harus diakui juga bahwa suasana religius dalam tembok biara
pada umumnya sangat mengharukan, kecuali ordo-ordo Carthusian, Karmelit, dan
Trapis yang menghidupi kehidupannya dengan keras.Dunia sering melihat bahwa
kehidupan membiara sebagai bentuk hidup mewah.Sebab biara telah menyediakan
uang bagi para biarawan/ I yang menangani tanah yang luas dan proyek-proyek
bangunan yang mahal.Meskipun demikian, ordo-ordo Mendikan tidak terlalu
dikritik, karena kemiskinan mereka, namun para anggota ordo sedang mengalami
krisis kedisiplinan.Pengkritik seringkali menyerang sisi yang lemah ini. Mereka
juga menegaskan bahwa ordo sama sekali tidak berguna bagi masyarakat. Di mata
mereka hanya ordo-ordo yang membaktikan diri secara husus bagi pendidikan dan
perawatan orang sakit yang bisa diterima.Oleh sebab itu, tidak mengherankan
bahwa pada pertengahan abad ke-18, karena didorong oleh opini publik, pemerintah
berusaha menutup sebagian biara.
Situasi
yang sama juga dialami oleh imam-imam sekular. Ini disebabkan oleh
penyalahgunaan fungsi imam di hadapan masyarakat.Para imam ada yang tertarik
pada ajaran Richeristik yang bertujuan untuk mengurangi otoritas kepausan dan
para uskup.Ajaran yang dianut oleh para imam ini bermuara pada terciptanya
Konstitusi Sipil para imam.Penerimaan ajaran Richeristik difasilitasi oleh
keinginan banyak imam demi meminimalisir despotism kepausan dan distribusi
pemasukan dari harta Gereja yang tidak adil.Di Prancis misalnya, terdapat
ketidakpuasan atas praktek persepuluhan yang diperburuk oleh reaksi feodal para
pemiliki tanah.Keretakan juga muncul dari sikap para imam yang hanya menjadi
penumpukan kekayaan tanah, sedangkan hak untuk memilikinya tergantung pada
keputusan para penguasa.[5]
Berbagai
lembaga kekuasaan dalam regime kuno;
kekayaan, kewibawaan, dan otoritas moral selalu dipertanyakan secara
sistematis.Semua usaha yang dilakukan oleh Gereja untuk memperbaiki situasi
tampaknya tidak efektif.Gereja sangat lemah dalam kepemimpinan mengenai peranan
Gereja.Hal ini diperburuk oleh pandangan bahwa klerus yang lebih tinggi dalam
kepemimpinan bisa dicampuri oleh pemerintah dalam urusan Gerejani.[6]
Justinus
Van Hontheim danGerakan
Febronianisme
Pembentuk gerakan Febronianisme adalah
Johanes Nikolaus van Hontheim.
Ia lahir di kota Trier, Jerman pada tanggal
27 Januari 1701.
Ia berasal dari keluarga bangsawan yang selama beberapa generasi berhubungan
dengan pengadilan dan pemerintah para Pemilih Trier.[7]
Ayahnya bernama Kaspar von Hontheim memiliki jabatan sebagai wakil jenderal dari Pemilih. Perkembangan dan
pertumbuhan pengetahuan Hontneim terbentuk dari
didikan yang diberikan oleh para Yesuit di Trier. Ia pun mengambil pendidikan di Universitas
Louvain dalam bidang hukum kanonik. Gurunya van Espen adalah
seorang Jansenis. Van Espen menganggap semua uskup setara dengan paus
dan berusaha meningkatkan kewibawaan sipil, dengan mengorbankan otoritas Gerejawi.[8] Selama
studi di universitas van Leuven, Hontheim
mendapatkan pengaruh Galikan yang menantang sistem
monarki di dalam Gereja Katolik Roma.Hal ini membawa Hothenheim pada
pandangan baru untuk mencari cara menurunkan sentaritas kedudukan paus di Roma.Hontneim mengambil
sebagian dasar prinsip-prinsip Gallikan,
selama mengejar studinya di Louvain. Dia mengembangkan dalam karya ini
sebuah teori organisasi Gerejawi yang didirikan pada penolakan konstitusi
monarki Gereja. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi rekonsiliasi badan-badan
Protestan dengan Gereja dengan mengurangi kekuatan Tahta Suci. Kecerdasan yang
dimiliki dan ketekunannya
membawa dia pada sebuah petualangan
keberbagai daerah Eropa. Melalui petualangan di
berbagai daerah Eropa Hotheim sampai di Roma. Beberapa tahun kemudian ia ditahbiskan
sebagai imam Gereja katolik Roma. Ia menjadi profesor hukum sipil di
Universitas Trier pada 1734 dan sebagai imam ia pernah menjabat sebagai pastor
paroki di Koblenz dan Trier pada 1739. Pada 1748 ia diangkat sebagai pembantu
uskup dan vikaris jenderal Trier.[9]
Empat belas tahun kemudian atas usulan para
uskup ia memulai sebuah penelitian yang berpusat pada pencarian kedudukan
historis kepausan. Dalam proses
penelitian, ia menyelidiki teks-teks kuno perihal cikal-bakal kekuasaan paus
serta tata tertib organisasinya dan struktur pemerintahannya. Pekerjaan ini pun
menjadi kesempatan baginya untuk mempelajari pengaruh campur tangan Kuria Roma
dalam urusan internal Kekaisaran, terutama dalam negosiasi yang mendahului
pemilihan kaisar Charles VII dan Francis I di mana Hontheim terlibat sebagai asisten duta besar pemilihan.
Tampaknya itu adalah klaim ekstrem dari nuncio kepausan pada
kesempatan-kesempatan ini dan campur tangannya dalam urusan lembaga pemilihan
yang pertama kali mengusulkan kepada Hontheim bahwa pemeriksaan kritis atas
dasar kepausan. Hontheim
mengganti namanya dengan nama samaran yakni Justinus Febronius. Kini ia memiliki
identitas ganda yakni sebagai pembantu uskup Trier dan nama samaran sebagai Febronius.
Hasil studinya dipublikasikan pada tahun
1763. Judul karya tulisnya ialah De Statu
Ecclesae de potestate legitima Romani Pontificis Liber Singularis ad reuniendos
dissidentes in religione christanos
compositus ("Mengenai Keadaan Gereja dan Kekuatan Sah dari Paus
Roma"). Karya ini kemudian dicetak ulang dengan judul Suplement pada tahun 1765-1770 dan diperlebar hingga lima jilitan.[10]Febronius meninggal di kastil Montquintin pada 1
September 1790 dan meninggalkan banyak tulisan bagi Gereja kuno.[11]
Isi Pandangan Febronius
Secara keseluruhan karya Febronius
terbagi dalam sembilan bab. Menurut
Febronius,GerejaRoma
tidak bergantung pada otoritas Kristus, tetapi pada Petrus, sehingga Gereja
memiliki kekuatan untuk menempelkannya pada orang lain. Oleh karena itu,
kekuasaan paus harus dibatasi pada hak-hak esensial yang melekat dalam keutamaannya. Paus adalah pusat
di mana masing-masing Gereja harus dipersatukan. Segala kejadian yang terjadi dalam tubuh Gereja
harus diberitakan kepada paus. Paus pun dapat
melakukan usaha untuk pelestarian
persatuan. Ini adalah tugasnya untuk menegakkan ketaatan kanon di seluruh Gereja;
dia memiliki wewenang untuk menyebarluaskan undang-undang atas nama Gereja, dan untuk mendepak legatus untuk
menjalankan otoritasnya sebagai primata. Kekuasaannya, sebagai kepala seluruh Gereja,
bagaimanapun adalah karakter administratif dan pemersatu, bukan kekuatan
yurisdiksi. Tetapi sejak abad kesembilan, terutama melalui pengaruh Dekrit
Palsu dari Pseudo-Isidore, konstitusi Gereja telah mengalami transformasi
menyeluruh, di mana otoritas kepausan telah diperluas melampaui batas-batas
yang tepat. Selama tiga abad,
ultramontanisme telah mengajarkan bahwa paus adalah tuan atas segala tuan atau
dengan kata lain sebagai raja absolut.Ia memiliki kekuasaan yang tak terbatas
atas Gereja dan semua anggotanya. Hal ini bertentangan dengan dokrin
Febronianisme. Dalam buku pertamanya ia mengklaim bahwa Gereja sebagaimana
dipahami dalam sejarah pada abad pertama, tidak monarkis, tetapi lebih
demokratis. Paus meskipun sebagai kepala Gereja mempunyai otoritas yang
terbatas.[12]
Kasus seperti pelanggaran keadilan, pertanyaan-pertanyaan yang pada satu waktu yang seharusnya diserahkan kepada keputusan sinode
provinsi dan metropolitan secara bertahap beralih kepada Tahta Suci. Hal yang sama
terjadi pada kutukan terhadap bidaah, konfirmasi episkopal
pemilihan umum, penamaan wakil presiden dengan hak suksesi, pemindahan dan penghapusan
uskup, pembentukan keuskupan-keuskupan baru, dan pendirian metropolitan dan
primordial, melihat kasus yang terus berkembang ini maka Paus, yang infabilitasnya
secara tegas harus ditolak, Paus tidak dapatmengambil sendiri keputusan sendiritanpa dewan atau
persetujuan dari seluruh keuskupan. Demikian juga dalam hal disiplin, Paus
tidak bisa mengeluarkan keputusan yang mempengaruhi seluruh tubuh orang
beriman; keputusan dewan umum memiliki kekuatan mengikat hanya setelah
penerimaan mereka oleh masing-masing Gereja. Hukum yang disebarluaskan tidak
dapat diubah atas kehendak atau kesenangan paus.[13]
Menurut Febronius,
pengadilan banding terakhir di Gereja adalah konsili ekumenis. Paus berada di bawah
dewan umum; ia tidak memiliki wewenang eksklusif untuk memanggil seseorang, atau
hak untuk memimpin sidang dan keputusan konsili tidak memerlukan ratifikasi.
Kehadiran kelompok-kelompok ekumenis adalah kebutuhan mutlak, karena keputusan
Paus harus mendapat persetujuan dari mayoritas uskup.semua uskup memiliki hak
yang sama; mereka tidak menerima kekuatan yurisdiksi dari Tahta Suci. Febronius
menuntut bahwa disiplin primitif, sebagaimana digariskan olehnya harus dipulihkan.
Dia kemudian menyarankan sebagai sarana untuk mewujudkan reformasi ini, bahwa
rakyat harus tercerahkan dengan baik mengenai hal ini, bahwa dewan umum dengan
kebebasan penuh diadakan, bahwa sinode nasional harus diadakan, tetapi terutama
bahwa para penguasa Katolik mengambil bersama tindakan, dengan kerja sama dan
saran dari para uskup, bahwa para pangeran sekuler memanfaatkan diri mereka
dari Regium Placet untuk menolak dekrit, bahwa kepatuhan secara terbuka ditolak
sampai batas yang sah. Kesimpulan praktis dari buku ini adalah bahwa perebutan
kekuasaan harus diakhiri, disiplin primitif dipulihkan, dan para uskup dapat
memanggil penguasa sipil untuk melindungi mereka terhadap paus.[14]
Identitas Febronius dikenal di Roma segera
setelah tulisannya
diterbitkan. Febronius, meski seolah-olah berjuang untuk kemerdekaan dan
otoritas yang lebih besar untuk para uskup,
hanya berusaha untuk membuat Gereja-Gereja dari berbagai negara yang
kurang bergantung pada Tahta Suci, untuk memfasilitasi pembentukan Gereja-Gereja
nasional di negara-negara ini, dan mengurangi para uskup untuk suatu kondisi di
mana mereka akan menjadi makhluk hanya budak dari kekuatan sipil. Febronius
mendesak pembatasan kekuasaan paus dan penundukannya kepada para uskup dan
dewan-dewan umum. Motifnya adalah untuk menarik Protestan Jerman ke Gereja
Katolik Roma dengan menghapus ketakutan Protestan tentang kepausan. Dia
memperkuat motif ini dengan menunjukkan bahwa penguasa tidak tunduk pada paus
dan menetapkan bahwa penguasa dan uskup harus menolak kecenderungan Romawi
untuk merambah kekuasaan mereka.
Karya J.N. van Hontheim tersebut kemudian disensor.
Penyensoran ini menghantarkannya
untuk terlibat dalam diskusi panjangdengan para penentangnya. Serangan terhadap
pemikiran Febronius muncul dari tokoh-tokoh Gereja dan kaum protestan.[15] Tokoh-tokoh
Gereja Katolik yang menentang hadirnya buku Febronius ialah Ballerin
bersaudara, Johann Gottfriet Kauffmann Tomaso Mria Mamachi, Ladislaus Sappel,
dan Francesco Antoni dan Zaccaria.Zaccaria
mendapat hukuman pengasingan dari kota Naples karena menentang hadirnya buku
Febronius.
Selain itu, ada sanggahan yang ditulis daripara teolog Protestan, untuk menolak
gagasan bahwa berkurangnya kekuasaan paus adalah semua yang diperlukan untuk
membawa orang-orang Protestan kembali ke dalam persatuan dengan Gereja,
misalnya Karl Friedrich Bahrdt, dan Johann Friedrich Bahrdt. Dalam perdebatannya tidak ada seorangpun
dari lawan-lawannya
yang memaksanya untuk mencabut kembali penegasannya dalam tulisannya hingga tahun 1778.
Ide Febronius makin berkembang dan diterima oleh berbagai kalangan. Riset
Hontheim pun membuktikan bahwa
otoritas tertinggi di dalam Gereja kuno terletak dalam tangan uskup dan
konsili. Oleh karena itu, superioritas paus saat ini semata-mata bersifat honori, directionis et inspectionis.
Dalam pelaksanaannya
paus bertugas sebagai pelaksana keputusan konsili. Selain itu, ia dapat
mengawasi pelaksanaan dekrit-dekrit konsili serta dapat mengambil
keputusan-keputusan dogmatis dan disipliner. Tetapi keputusan dogmatis dan
disipliner itu bersifat mengikat hanya setelah diterima oleh Gereja-Gereja nasional dan keuskupan-keuskupan.Paus yang tidak
menghiraukan ketentuan dan cara main seperti ini berarti perampokan. Oleh
karena itu, pada dasarnya harus dikembalikan kepada para uskup. Di sinilah
peran dan fungsi kekuasaaan sipil yakni mengambil
kembali kekuasaaan yang telah diambil oleh paus. Selain itu penguasa sipil
dapat mengambil placet, dan dapat
memanggil sinode propinsi
serta sinode negara.[16]
Tanggapan
dari Roma dan Perdamaian dengan
Hotheim
Tulisan Hontheim merambah ke
berbagai daerah dan menjadi terkenal di Roma. Buku ini secara resmi dikutuk, 27
Februari, 1764, oleh Paus Clement XIII. Dengan sebuah Brief tanggal 21 Mei
1764, paus memerintahkan
Jerman untuk menekan penyebaran buku ini. Perintah paus hanya diikuti oleh sepuluh
prelatus yang tergolong sebagai Pemilih Trier. Sementara itu tidak ada langkah
yang diambil terhadap Hotheim meskipun karya tulisannya telah menyebar di Roma. Terlepas dari
pelarangan Gereja, buku Febronius cepat berkembang karena isi tulisannya yang menyalakan
semangat pembentukan Gereja nasional . Edisi keduabukunya, direvisi,
diperbesar, dan dicetak ulang di Venesia dan Zurich, dan terjemahannya muncul
dalam bahasa Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Portugis. Zacaria. Ketidaksukaan sentralisme dan Katolik Roma
ultramontane meningkatkan popularitas Febronianism di Portugal, Spanyol, Belanda Austria,
Venice, Tuscany dan Naples. [17]
Setelah
Paus Clemens XII wafat Konklaf pemilihan
paus baru terjadi selama 4 bulan untuk memilih pengganti paus. Hasilnya KardinalGianangelo
Braschi terpilih sebagai pengganti Paus Clemens XIII.
Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1758. Kemajuan cepat, ia menjadi
bendahara ruang apostolik pada tahun 1766, di bawah Paus Clement XIII, dan pada
tahun 1773 dijadikan kardinal oleh Paus Clement XIII. Kepribadiannya yang tidak
terlalu menarik dan kecenderungannya untuk
berkiprah lebih pada pengejaran prestasi duniawi tidak membawa prestasi
perubahan Gereja ke arah yang lebih baik. Sejak awal kepemimpinannya, Paus PiusVI menghadapi kesulitan dalam
mempertahankan posisi tradisional Paus. Takhta suci berhadapan dengan opini
publik yang semakin membenci kuria dan pemerintah semakin cendrung memaksa paus untuk
memberikan persetujuan demi persetujuan untuk memperkuat pengaruh
mereka guna mencegah terbentuknya Klerus nasional yang salah satunya tertuang dalam tulisan
Febronius.
Pada masa Paus Pius VI
terjadi tindakan khusus bagi Hotheim. Langkah awal yang diambil oleh Paus Pius
VI adalah mendesak Clemens Wenzeslaus, Pemilih Trier, untuk menjadi uskup di Tier. Clement Wenzeslaus berasal Polandia. Clement
merupakan cucu dari Kaisar Joseph I. Ia diangkat menjadi uskup Trier pada bulan Februari 1768.
Harapan Paus terhadap aksi Clement nampaknya belum berhasil karenaClement terus
melindungi Hontheim meskipun identitas tambahannya sebagai Febronius dikenal
duta kepausan yakni kardinal Oddi. Pada 1775 Clement Wenzeslaus meminta
pendapat para imam Perancis untuk untuk membentuk suatu kesatuan antara negara
danGereja. Dalam perakitan pemahaman pada saat itu dihasilkan suatu kesimpulan
dari para imam Perancis yakni menolak
Febronianism. Menurut pandangan mereka gerakan Febronius
jauh melampaui Gallicanism. Penolakan terhadap tulisan Febronius juga lahir
dari para pendeta Protestan. Bagi mereka
keutamaan untuk membangun
kembali relasi dengan Gereja Katolik Roma tidak terutama karena penurunan
sentralitas Paus saja melainkan pada masalah mendasar antara Gereja Katolik dan
konfliknya dengan Gereja-Gereja Kristen. Pertemuan ini berhasil menjelaskan 30 keluhan terhadap takhta
suci.[18]
Perjuangan uskup
Wenzelaus nampaknya hanya berlaku di keuskupannya sebab di keuskupan-keuskupan lain
terbentuk upaya untuk mewujudkan
kesatuan antara Gereja dan negara.Konferensi Coblenz 1769, menjadi tanda untuk
menerapkan prinsip-prinsip Febronian yang dibuat di Jerman.Konfensi ini
dipimpin oleh Hotheim dan dihadiri oleh tiga pemandu Gerejawi yakni Mainz,
Cologne, dan Trier yang terwakili dalam delegasi mereka.Dibawah arahan Hontheim,
konferensi ini pun berhasil menyusun daftar tiga puluh pengaduan terhadap
Gereja Roma yang asas-asanya sesuai dengan prinsip "Febronius" "Magazin zum Gebrauch der Staaten- und
Kirchengeschichte ". Yang lebih penting adalah Kongres Ems tahun 1786,
di mana tiga pemuka Gerejawi dan Pangeran-Uskup Salzburg, meniru Kongres
Coblenz, dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar "Febronius", membuat
upaya baru untuk menyesuaikan kembali hubungan Gereja Jerman dengan Roma,
dengan maksud untuk mengamankan yang pertama ukuran kemerdekaan yang lebih
besar.Mereka juga memiliki perwakilan mereka yang menyusun Ketetapan Ems dalam
dua puluh tiga artikel. Namunmereka mencapai hasil yang tidak praktis. Suatu
usaha dibuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip "Febronius" dalam skala
besar di Austria, di mana di bawah arahan Kaisar Joseph II terbentuklah
sebuah Gereja nasional didirikan sesuai dengan rencana yang digariskan. Upaya
ke arah yang sama dibuat oleh saudara laki-laki Joseph, Leopold, di Grand-Duchy
of Tuscany miliknya. Resolusi yang diadopsi di Sinode Pistoia, di bawah Uskup
Scipio Ricci, sepanjang garis-garis ini, ditolak oleh mayoritas uskup di negara
itu.[19]
Uskup
Trier, Wenceslas akhirnya mengancam untuk mencabut jabatan
Hontheim sebagai pembantu uskup jika Hotheim tidak menarik tulisannya. Ancaman uskup
Trier juga terarah pada semua kerabat Hotheim yang turut bekerja bersama
Hotheim.Setelah mendapat teguran dari Uskupnya Hotheim melakukan korespondensi
dan menandatangani surat pengakuan yang diberikan oleh Wenceslaus. Penandatangan ini menjadi
suatu pengakuan kesalahan dari Hotheim
kepada Tahta Suci. Meskipun Hontheim masih menolak
untuk mengakui isi tulisannya
yang mengarah pada usaha membentuk kesatuan antara pemerintah dan negara.Kardinal Lauchert yang melihat sikap penyangkalan ini, menilai pengakuan
kesalahan Hontheim itu tidak tulus. Keengganan Hontheim mengakui isi
tulisannya dikomunikasikan
kepada para kardinal di konsistori oleh Pius VI pada Hari Natal. Bahwa retraksi
ini tidak tulus. Hontheim menghasilkan
beberapa gerakan-gerakan berikutnya,
yakni Salah satunya ialah tulisan Hontheim dengan judul “Justini Febronii Commentarius in suam
Retractationem Pio VI. Pont. Max. Kalendis Nov. anni 1778 submissam”
(Frankfort, 1781; German ed., Augsburg, 1781). Buku ini ditulis untuk tujuan membenarkan posisinya di
depan publik. Terlepas dari sikap Hontheim
dan pandangan beberapa kardinal tentangnya,
Hontheim kemudian
didamaikan dengan Gereja Katolik Roma sebelum kematiannya.[20]
Penyebaran
Febronianisme
Permintaan
maaf yang disampaikan oleh Hontheim
dan perdamaiannya
dengan Gereja Katolik Roma ternyata tidak menghentikan pergerakan ajarannya. Negara-negara yang
menelan ajaran Febronimus tergolong sebagai negara yang mementingkan tendensi
absolitisik penguasa sipil. Lagi pula uskup-uskup dalam Gereja Katolik pada
waktu itu berasal dari para pangeran kerajaan. Mencuat dan berkembangnya ajaran Febronius
bisa dikatakan sebagai jawaban dari kerinduan para pangeran untuk dapat
memiliki kekuasaan ganda dalam negara dan Gereja. Dengan demikian mereka berusaha meletakan
posisi Gereja dibawah kendali penguasa sipil. Negara-negara tersebut ialah
pemerintah Perancis, Belanda Austria, Spanyol dan Portugal, Venesia, Austria,
dan Tuscany. Negara-Negara ini pun kemudian menerima pengembangan lebih lanjut ide Gereja
nasionalis di tangan para teolog pengadilan dan kanonis
yang menyukai skema Gereja nasional. Para Teologan itu ialah
profesor Franz Anton Haubs yang menerbitkan rancangannya mengenai Gereja
nasional dalam karangan berjudul, "Themata
ex histori ecclesiastica de hierarchia sacra primorum V saeculorum"
(Trier, 1786); dan "Systema primævum
de potestate episcopali ejusque applicatio ad episcopalia quaedam jura di
specie punctationibus I. II. Et IV. Congressus Emsani exposita"
(Trier, 1788); dan Wilhelm Joseph Castello, yang mengeluarkan disertasi berjudul, "Dissertatio historica de variis causis,
queis accidentalis Romani Pontificis potestas successive ampliata fuit"
(Trier, 1788). Perombakan Gereja di Austria terjadi melaui perumusan para
kanonis yang berada di Autria yakni Paul Joseph von Riegger, Pehem, dan Johann
Valentin Eybel . Mereka yang paling
banyak berkontribusi terhadap penyusunan aturan hukum baru yang mengatur
hubungan Gereja dan Negara, yang direduksi menjadi praktik di bawah Kaisar Joseph II. Yang terutama patut dicatat
seperti yang dikandung dalam semangat ini adalah buku-buku teks tentang hukum
kanonik yang ditentukan untuk universitas-universitas Austria, dan disusun oleh
Paul Joseph von Riegger, "Institutiones
juris ecclesiastici" (4 jilid, Wina, 1768-72; sering dicetak ulang),
dan Pehem , "Prélectiones in jus ecclesiasticum
universum", juga, dengan cara yang lebih
jelas, karya Johann Valentin Eybel, "Introductia in jus ecclesiasticum
Catholicorum" (4 jilid, Wina, 1777;)[21]
Penyebaran buku Febronius juga
terjadi di Spayol pada tahun 1767. Dewan Kastilia dan jaksa agung di Avia mendukung dan membuat harga penjualannya
menjadi lebih murah sehingga memudahkan orang untuk membelinya. Sedangkan Portugal,
mereka tidak hanya mencetak dan menterjemahkannya dalam bahasa mereka, tetapi
juga mendistribusikannya serta menyarankan agar setiap orang membacanya. Raja
Portugal sendiri mengutip ajaran Febronianisme dalam politiknya untuk melawan
masa depan perkembangan Gereja.[22]
Kongres Ems
Gereja mengadakan sinode reformasi
pistoa
untuk
meredam gebrakan aliran febronianisme, namun nampaknya
inisiatif Gereja belum berhasil. Sinode reformasi
Pistoia dipimpin oleh Uskup Scipione de
'Ricci yang ditolak oleh mayoritas uskup negara. Para uskup negara lebih
tertarik pada Kongres Ems, di mana terdapat tiga Gerejadan pangeran dari Cologne, Mainz,Trier
dan Pangeran dan Uskup Keuskupan Agung Salzburg. Konfrensi Ems menghasilkan dua-puluh tiga keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar dari "Febronius".[23]Selanjutnya
disahkan dan dikeluarkan oleh uskup agung dalam
sebuah punctuationyang merupakan suatu perjanjian awal atau kontrak. Dokumen ini adalah tuntutan dari para uskup untuk takhta suci. Dua
puluh tiga artikel dari dokumen ini dapat diringkas sebagai berikut:Uskup,
melalui kuasa yang mereka terima dari Tuhan sendiri, memiliki otoritas penuh
atas keuskupan mereka dalam semua masalah dispensasi, otoritas spiritual, dan lain-lain.Peran
nuncio kepausan harus direvisi dan dikurangi.Sumpah
setia kepada paus, yang diminta oleh Paus
Gregorius VII dari
uskup, harus diubah sesuai dengan hak para uskup.Biaya dan anuitas yang
dibutuhkan untuk pemberian pallium dan untuk konfirmasi sebagai uskup, harus dikurangi. Jika
konfirmasi episkopal tidak dikabulkan, seorang uskup harus dapat terus bekerja
di bawah perlindungan kaisar.Selama persidangan sebelum naikbanding di hadapan
pengadilan archiepiscopal, kepausan harus menjauhkan diri dari intervensi
apapun.Meskipun pada prinsipnya, mereka tidak menentang pengadilan banding
tertinggi di Roma, lebih baik setiap keuskupan agung memiliki pengadilan
banding tertinggi, tergantung pada sinode provinsi.Kaisar diundang untuk
mendesak Paus untuk mengadakan dewan nasional untuk menangani pelanggaran yang
tidak ditangani oleh Konsili
Trente . Melalui ringkasan ini dapat
ditemukan hadirnya benih-benih dari ide Febronius yang telah tumbuh dan berkembang
dalam pemikiran para uskup dan pangeran di Jerman.[24]
Runtuhnya Gereja Nasional
Buah
dari Kongres Ems seakan menutup pintu bagi rekonsiliasi antara Gereja katolik dengan Gereja
nasional. Namun revolusi
Perancis melakukan pecah dan Gereja Jerman
turun dalam badai.Tahun 1803
sekularisasi yang dilakukan atas perintah Konsul Prancis mengakhiri ambisi
duniawi pejabat Gereja Jerman. Gelombang reaksi setelah gejolak revolusioner
terbenam kuat ke arah otoritas tradisional,agama sebagai dalam politik dan
bahwa gerakan ultramontane yang sebelum abad itu berakhir, adalah untuk
mendominasi Gereja, itu sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang penuh
semangat. Selain itu, Gereja nasional yang besar Jerman yang Hamberg memiliki
visi dengan dirinya sebagai primata tidak menarik bagi para pangeran Jerman. Satu
demi satu ini masuk ke setuju dengan Roma, dan Febronianism dari kebijakan
agresif mereda menjadi pendapat spekulatif. Karena itu sangat kuat, terutama di
perguruan tinggi (di Bonn
1774), dan menyatakan dirinya penuh semangat dalam sikap dari banyak uskup
Jerman yang paling terpelajar dan profesor terhadap pertanyaan dari definisi
dogma Katolik infalibilitas paus pada tahun 1870. Hal ini, pada kenyataannya,
terhadap posisi Febronian bahwa dekrit Konsili Vatikan Pertama sengaja
diarahkan, dan diundangkan mereka menandai kemenangan pandangan ultramontane.
Di Jerman, memang, perjuangan melawan monarki kepausan dilakukan untuk
sementara waktu oleh pemerintah pada Kultur-kampf,
kaum Katolik dari
berbagai daerah menekan dokrin Febronianisme. Yang terakhir, namun, karena Otto von
Bismarck telah tenggelam ke dalam sebuah
sekte terhormat tapi relatif tidak jelas, dan Febronianisme, meskipun masih
beberapa berpegang pada pendapat dalam Gereja dalam bab-bab dan universitas
provinsi Rhine, itu praktis punah di Jerman. [25]
Refleksi
Kritis
Tanggapan atas
sentralisasi dan infabilitas kepausan terjadi dalam Gereja, pada dasarnya
diakibatkan karena sistem organisasi kepausan tidak menunjukan kejelasan yang
otonom.Ketergantungan Gereja terhadap pemerintah sipil, membuat kewibawaan dan
otoritas kepausan tidak diakui sebagai pemimpin tertinggi dalam Gereja.Pengakuan
otoritas kepausan tidak secara jelas dicantumkan dalam hukum bahkan belum
dijadikan sebagai dogma.Keadaan ini menjadi peluang besar bagi para pemerintah
sipil dalam menguasai kepausan.Hal ini mengakibatkan kebebasan hak-hak raja
untuk mendominasi para uskup dan para petinggi Gereja lainnya.Munculnya gerakan
Febronianisme mendapat pengaruh dari aliran Galikalisme. Awal munculnya Galikan
yang kemudian melahirkan Galikalisme politis, diakibatkan karena timbulnya
sikap yang condong menerima campur
tangan kekuasaan sipil dalam masalah keagamaan. Pengaruh aliran ini, terus
berlanjut dan berkembang menuju Jerman yang kemudian melahirkan aliran yang di
sebut dengan Febronianisme. Semasa munculnya gerakan Febronianisme tersebut, Gereja
Jerman mengalami kekacauan karena keterlibatan pemerintah sipil dalam urusan
keagamaan. Kekacauan semakin bertambah sebab sebagain besar para uskup diangkat
dari pangeran kerajaan bahkan akan menjadikan Gereja sebagai sebuah negara
federal. Dengan demikian, aliran Galikalisme maupun Febronianisme mempunyai
kesamaan, yakni sebagai tanggapan atas kuasa yang diemban oleh pemimpin
tertinggi Gereja.Dengan melihat otoritas paus yang melebihi segalanya,
Febronius mencoba mengemukakan pandangannya, berdasarkan pada hasil penelitiannya
mengenai cikal bakal kedudukan paus dalam Gereja kuno.Ia berpandangan bahwa
kekuasaan tertinggi bukan terletak pada paus melainkan pada tangan uskup.
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa ia menginginkan Gereja dibawah kuasa
pemerintah sipil dan memberi peluang besar bagi para uskup yang adalah pangeran
untuk mengambil ahli kekuasaan yang telah dimiliki oleh paus.
Dafar
Pustaka
Douglas, J. D.
(ed.). The New Internatinonal Dictionary
of The Christian Church. Michigan: The Pater Noster Press, 1978.
Heraty, Jack and
Assosris, New catholic Encyclopedia,
vol. 5. Washintong: The Catholic University Of Amerika, 1967.
Jedin, Hubert
(ed.). The History of The Church,
vol. VII . London: Burns and dates,
1981.
Kunziger, J..Febronius et Febronianisme. Brussels:
Royal Academy of Sciences, 1891.
Kristianto, Eddy. Reformasi dari
Dalam. Yogyakarta:Kanisius,
2004.
Kristianto, Edy.Selilit Sang Nabi. Yogyakarta: Kanisius,
2007.
Sembiring,
Husin. Sejarah Agama Kristiani II.
Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005
(Diktat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar