Rabu, 14 November 2018

Sejarah Kristiani-aliran febronianisme








FEBRONIANISME
Pengantar
Hubungan antara Gereja dan negara selalu mengalami persoalan sepanjang sejarah.Pertentangan antara kedua pemimpin tersebut, baik raja maupun paus berlandaskan pada pengakuan otoritas yang mereka miliki.Pengakuan atas otoritas kepausan dalam Gereja mendapat perlawanan dari pihak negara dan juga datang dari pihak Gereja itu sendiri. Perlawanan terhadap sentralisasi dan infabilitas kepausan muncul secara terang-terangan  sekitar abad ke-18, yang berkembang dari Perancis menuju ke Jerman. Pada masa ini, muncul berbagai macam gerakan yang berusaha mengembalikan cara pandang yang benar atas otoritas paus sesuai dengan kitab suci dan tradisi kuno Gereja.Pandangan bahwa paus bukan di atas segala-galanya, mendorong para teolog dan kanonis untuk membuat penelitian berkaitan dengan kedudukan historis kepausan. Salah satu tokoh asal jerman yang melakukan penelitian berkaitan dengan kedudukan otoritas kepausan ialah seorang uskup Auxsilier Trier dengan nama samaran Justinus Febronius. Dibawah pengaruh aliran Galikanisme, Febronius menghasilkan sebuah tulisan mengenai keadaan Gereja dan kekuasaan sah yang dimiliki paus sebagai uskup Roma.Ia memandang bahwa otoritas kepausan telah diperluas melampaui batas-batas yang sebenarnya.Penelitiannya membuktikan bahwa otoritas tertinggi dalam Gereja kuno, bukanlah terletak pada paus, melainkan pada uskup dan konsili-konsili.Pandangan Febronius tersebut dituangkan dalam sebuah buku dan berhasil disebarluaskan dengan cepat.[1]Pembahasan infabilitas paus menimbulkan pro-kontra dalam kalangan Gereja dan negara.Munculnya gerakan ini memberi peluang besar bagi pemerintah sipil untuk semakin menguasai Gereja, sebab pada masa ini Gereja dikaitkan dengan negara federal.Sebagian besar uskup diangkat dari para pangeran kerajaan yang menginginkan jabatan ganda.[2]Meskipun mendapat dukungan penuh dari pemerintah sipil, namun pandangan tersebut ditolak secara jelas dari pihak Gereja.Takhta suci dengan tegas menentang tulisan  Febronius dan mencegah penyebaran bukunya.
Situasi Gereja Abad ke-18
Abad ke-18 merupakan masa yang sangat sulit bagi semua Gereja kristen, khususnya Gereja Katolik Roma. Pada abad ini, Gereja Katolik Roma lebih menampakan kemunduran daripada kemajuan atau perkembangan.Jika dilihat dari luar Gereja katolik Roma masih memiliki kekuasaan, sebab Gereja Katolik Roma masih memiliki kekayaan, dukungan negara, dan privilege yang sulit dihitung.Namun, apabila dilihat dari dalam, sebenarnya Gereja mengalami keguncangan, khususnya dalam hal wibawa.Hal ini dapat dilihat dari perselisihan yang muncul setiap tahunnya.Kemunduran ini akhirnya menimbulkan perbedaan yang sungguh-sungguh nyata di dalam kehidupan para imam.Kenyataan ini ditunjukan oleh pemenuhan dunia klerus yang tidak mampu membedakan tuntutan imam yang nyata dengan asesoris-asesoris yang hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan Gereja dan agama.Posisi yang enak tetap dipertahankan oleh Gereja meskipun hal tersebut sebenarnya sudah tidak cocok lagi.Keinginan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sangat nyata dianut oleh tahta suci.Menjadi pemicu timbulnya  gerakan-gerakan pembaharu seperti   Febronius dan Gallikan.Agama harus toleran terhadap semua pemikiran yang ada, khususnya terhadap latihan kesalehan, dogma-dogma, sakramen-sakramen, dan seluruh organisasi klerikal. Gerakan-gerakan yang demikian dapat dihadapi dengan cara tradisional.[3]
Pada situasi ini para pemimpin Gereja katolik tidak memiliki kejelian dan ketajaman yang sangat dibutuhkan pada jaman itu.Misalnya, pengembangan antropologis untuk reorientasi dan untuk menjawab pesan-pesan yang muncul pada saat itu.Para pemimpin Gereja juga tidak tidak mampu membersihkan kekacauan yang berakar pada abad pertengahan yang berkaitan dengan perbedaan antara struktur klerikal riil berdasarkan Injil dan struktur Gereja aristrokratik ancien regime.[4]
Menjelang masa akhir regime kuno, banyak institusi Gerejani yang tidak berfungsi dengan baik.Salah satu sumber ketidakpuasan adalah sistem benefice.Selain itu, perlu dicatat juga persoalan-persoalan dalam sistem monastic.Meskipun, pada saat itu banyak rahib yang hidup dan sungguh-sungguh berusaha menghidupi panggilannya dengan benar.Namun, dunia telah memandang bahwa biara tidak lagi menjadi tempat untuk menghidupi keutamaan Injili.Harus diakui juga bahwa suasana religius dalam tembok biara pada umumnya sangat mengharukan, kecuali ordo-ordo Carthusian, Karmelit, dan Trapis yang menghidupi kehidupannya dengan keras.Dunia sering melihat bahwa kehidupan membiara sebagai bentuk hidup mewah.Sebab biara telah menyediakan uang bagi para biarawan/ I yang menangani tanah yang luas dan proyek-proyek bangunan yang mahal.Meskipun demikian, ordo-ordo Mendikan tidak terlalu dikritik, karena kemiskinan mereka, namun para anggota ordo sedang mengalami krisis kedisiplinan.Pengkritik seringkali menyerang sisi yang lemah ini. Mereka juga menegaskan bahwa ordo sama sekali tidak berguna bagi masyarakat. Di mata mereka hanya ordo-ordo yang membaktikan diri secara husus bagi pendidikan dan perawatan orang sakit yang bisa diterima.Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa pada pertengahan abad ke-18, karena didorong oleh opini publik, pemerintah berusaha menutup sebagian biara.
Situasi yang sama juga dialami oleh imam-imam sekular. Ini disebabkan oleh penyalahgunaan fungsi imam di hadapan masyarakat.Para imam ada yang tertarik pada ajaran Richeristik yang bertujuan untuk mengurangi otoritas kepausan dan para uskup.Ajaran yang dianut oleh para imam ini bermuara pada terciptanya Konstitusi Sipil para imam.Penerimaan ajaran Richeristik difasilitasi oleh keinginan banyak imam demi meminimalisir despotism kepausan dan distribusi pemasukan dari harta Gereja yang tidak adil.Di Prancis misalnya, terdapat ketidakpuasan atas praktek persepuluhan yang diperburuk oleh reaksi feodal para pemiliki tanah.Keretakan juga muncul dari sikap para imam yang hanya menjadi penumpukan kekayaan tanah, sedangkan hak untuk memilikinya tergantung pada keputusan para penguasa.[5]
Berbagai lembaga kekuasaan dalam regime kuno; kekayaan, kewibawaan, dan otoritas moral selalu dipertanyakan secara sistematis.Semua usaha yang dilakukan oleh Gereja untuk memperbaiki situasi tampaknya tidak efektif.Gereja sangat lemah dalam kepemimpinan mengenai peranan Gereja.Hal ini diperburuk oleh pandangan bahwa klerus yang lebih tinggi dalam kepemimpinan bisa dicampuri oleh pemerintah dalam urusan Gerejani.[6]
Justinus Van Hontheim danGerakan Febronianisme
Pembentuk gerakan Febronianisme adalah Johanes Nikolaus van Hontheim. Ia lahir di kota Trier, Jerman pada tanggal 27 Januari 1701. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang selama beberapa generasi berhubungan dengan pengadilan dan pemerintah para Pemilih Trier.[7] Ayahnya bernama  Kaspar von Hontheim memiliki jabatan sebagai  wakil jenderal dari Pemilih. Perkembangan dan pertumbuhan pengetahuan Hontneim terbentuk dari didikan yang diberikan oleh para Yesuit di Trier. Ia pun  mengambil pendidikan  di Universitas Louvain dalam bidang hukum kanonik. Gurunya van Espen adalah seorang Jansenis. Van Espen menganggap semua uskup setara dengan paus dan berusaha meningkatkan kewibawaan sipil, dengan mengorbankan otoritas Gerejawi.[8]  Selama  studi di universitas van Leuven, Hontheim mendapatkan pengaruh Galikan yang menantang sistem monarki di dalam Gereja Katolik Roma.Hal  ini membawa Hothenheim pada pandangan baru untuk mencari cara menurunkan sentaritas kedudukan paus di Roma.Hontneim  mengambil  sebagian dasar prinsip-prinsip Gallikan,  selama mengejar studinya di Louvain. Dia mengembangkan dalam karya ini sebuah teori organisasi Gerejawi yang didirikan pada penolakan konstitusi monarki Gereja. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi rekonsiliasi badan-badan Protestan dengan Gereja dengan mengurangi kekuatan Tahta Suci. Kecerdasan yang dimiliki dan ketekunannya membawa dia pada sebuah petualangan keberbagai daerah Eropa. Melalui petualangan di berbagai daerah Eropa Hotheim sampai di Roma. Beberapa tahun kemudian ia ditahbiskan sebagai imam Gereja katolik Roma. Ia menjadi profesor hukum sipil di Universitas Trier pada 1734 dan sebagai imam ia pernah menjabat sebagai pastor paroki di Koblenz dan Trier pada 1739. Pada 1748 ia diangkat sebagai pembantu uskup dan vikaris jenderal Trier.[9]
 Empat belas tahun kemudian atas usulan para uskup ia memulai sebuah penelitian yang berpusat pada pencarian kedudukan historis kepausan.  Dalam proses penelitian, ia menyelidiki teks-teks kuno perihal cikal-bakal kekuasaan paus serta tata tertib organisasinya dan struktur pemerintahannya. Pekerjaan ini pun menjadi kesempatan baginya untuk mempelajari pengaruh campur tangan Kuria Roma dalam urusan internal Kekaisaran, terutama dalam negosiasi yang mendahului pemilihan kaisar Charles VII dan Francis I di mana Hontheim terlibat  sebagai asisten duta besar pemilihan. Tampaknya itu adalah klaim ekstrem dari nuncio kepausan pada kesempatan-kesempatan ini dan campur tangannya dalam urusan lembaga pemilihan yang pertama kali mengusulkan kepada Hontheim bahwa pemeriksaan kritis atas dasar kepausan. Hontheim mengganti namanya dengan nama samaran yakni Justinus Febronius. Kini ia memiliki identitas ganda yakni sebagai pembantu uskup Trier dan nama samaran sebagai Febronius. Hasil studinya dipublikasikan  pada tahun 1763. Judul karya tulisnya ialah De Statu Ecclesae de potestate legitima Romani Pontificis Liber Singularis ad reuniendos dissidentes in religione christanos  compositus ("Mengenai Keadaan Gereja dan Kekuatan Sah dari Paus Roma"). Karya ini kemudian dicetak ulang dengan judul Suplement pada tahun 1765-1770 dan diperlebar hingga lima jilitan.[10]Febronius meninggal di kastil Montquintin pada 1 September 1790 dan meninggalkan banyak tulisan bagi Gereja kuno.[11]

Isi Pandangan Febronius
Secara keseluruhan karya Febronius terbagi dalam sembilan bab. Menurut Febronius,GerejaRoma tidak bergantung pada otoritas Kristus, tetapi pada Petrus, sehingga Gereja memiliki kekuatan untuk menempelkannya pada orang lain. Oleh karena itu, kekuasaan paus harus dibatasi pada hak-hak esensial yang melekat dalam keutamaannya. Paus adalah pusat di mana masing-masing Gereja harus dipersatukan.  Segala kejadian yang terjadi dalam tubuh Gereja harus diberitakan kepada paus.  Paus pun dapat melakukan usaha untuk  pelestarian persatuan. Ini adalah tugasnya untuk menegakkan ketaatan kanon di seluruh Gereja; dia memiliki wewenang untuk menyebarluaskan undang-undang atas nama Gereja, dan untuk mendepak legatus untuk menjalankan otoritasnya sebagai primata. Kekuasaannya, sebagai kepala seluruh Gereja, bagaimanapun adalah karakter administratif dan pemersatu, bukan kekuatan yurisdiksi. Tetapi sejak abad kesembilan, terutama melalui pengaruh Dekrit Palsu dari Pseudo-Isidore, konstitusi Gereja telah mengalami transformasi menyeluruh, di mana otoritas kepausan telah diperluas melampaui batas-batas yang tepat. Selama tiga abad, ultramontanisme telah mengajarkan bahwa paus adalah tuan atas segala tuan atau dengan kata lain sebagai raja absolut.Ia memiliki kekuasaan yang tak terbatas atas Gereja dan semua anggotanya. Hal ini bertentangan dengan dokrin Febronianisme. Dalam buku pertamanya ia mengklaim bahwa Gereja sebagaimana dipahami dalam sejarah pada abad pertama, tidak monarkis, tetapi lebih demokratis. Paus meskipun sebagai kepala Gereja mempunyai otoritas yang terbatas.[12] Kasus seperti pelanggaran keadilan, pertanyaan-pertanyaan yang pada satu waktu yang  seharusnya diserahkan kepada keputusan sinode provinsi dan metropolitan secara bertahap beralih kepada Tahta Suci. Hal yang sama terjadi  pada  kutukan terhadap bidaah, konfirmasi episkopal pemilihan umum, penamaan wakil presiden dengan hak suksesi, pemindahan dan penghapusan uskup, pembentukan keuskupan-keuskupan baru, dan pendirian metropolitan dan primordial, melihat kasus yang terus berkembang ini maka Paus, yang infabilitasnya secara tegas harus ditolak, Paus tidak dapatmengambil sendiri keputusan sendiritanpa dewan atau persetujuan dari seluruh keuskupan. Demikian juga dalam hal disiplin, Paus tidak bisa mengeluarkan keputusan yang mempengaruhi seluruh tubuh orang beriman; keputusan dewan umum memiliki kekuatan mengikat hanya setelah penerimaan mereka oleh masing-masing Gereja. Hukum yang disebarluaskan tidak dapat diubah atas kehendak atau kesenangan paus.[13]
Menurut Febronius, pengadilan banding terakhir di Gereja adalah konsili ekumenis. Paus berada di bawah dewan umum; ia tidak memiliki wewenang eksklusif untuk memanggil seseorang, atau hak untuk memimpin sidang dan keputusan konsili tidak memerlukan ratifikasi. Kehadiran kelompok-kelompok ekumenis adalah kebutuhan mutlak, karena keputusan Paus harus mendapat persetujuan dari mayoritas uskup.semua uskup memiliki hak yang sama; mereka tidak menerima kekuatan yurisdiksi dari Tahta Suci. Febronius menuntut bahwa disiplin primitif, sebagaimana digariskan olehnya harus dipulihkan. Dia kemudian menyarankan sebagai sarana untuk mewujudkan reformasi ini, bahwa rakyat harus tercerahkan dengan baik mengenai hal ini, bahwa dewan umum dengan kebebasan penuh diadakan, bahwa sinode nasional harus diadakan, tetapi terutama bahwa para penguasa Katolik mengambil bersama tindakan, dengan kerja sama dan saran dari para uskup, bahwa para pangeran sekuler memanfaatkan diri mereka dari Regium Placet untuk menolak dekrit, bahwa kepatuhan secara terbuka ditolak sampai batas yang sah. Kesimpulan praktis dari buku ini adalah bahwa perebutan kekuasaan harus diakhiri, disiplin primitif dipulihkan, dan para uskup dapat memanggil penguasa sipil untuk melindungi mereka terhadap paus.[14]
 Identitas Febronius dikenal di Roma segera setelah tulisannya diterbitkan. Febronius, meski seolah-olah berjuang untuk kemerdekaan dan otoritas yang lebih besar untuk para uskup,  hanya berusaha untuk membuat Gereja-Gereja dari berbagai negara yang kurang bergantung pada Tahta Suci, untuk memfasilitasi pembentukan Gereja-Gereja nasional di negara-negara ini, dan mengurangi para uskup untuk suatu kondisi di mana mereka akan menjadi makhluk hanya budak dari kekuatan sipil. Febronius mendesak pembatasan kekuasaan paus dan penundukannya kepada para uskup dan dewan-dewan umum. Motifnya adalah untuk menarik Protestan Jerman ke Gereja Katolik Roma dengan menghapus ketakutan Protestan tentang kepausan. Dia memperkuat motif ini dengan menunjukkan bahwa penguasa tidak tunduk pada paus dan menetapkan bahwa penguasa dan uskup harus menolak kecenderungan Romawi untuk merambah kekuasaan mereka.
Karya J.N. van Hontheim tersebut kemudian disensor. Penyensoran ini menghantarkannya untuk terlibat dalam diskusi panjangdengan para penentangnya. Serangan terhadap pemikiran Febronius muncul dari tokoh-tokoh Gereja dan kaum protestan.[15] Tokoh-tokoh Gereja Katolik yang menentang hadirnya buku Febronius ialah Ballerin bersaudara, Johann Gottfriet Kauffmann Tomaso Mria Mamachi, Ladislaus Sappel, dan Francesco Antoni dan Zaccaria.Zaccaria mendapat hukuman pengasingan dari kota Naples karena menentang hadirnya buku Febronius. Selain itu, ada sanggahan yang ditulis daripara teolog Protestan, untuk menolak gagasan bahwa berkurangnya kekuasaan paus adalah semua yang diperlukan untuk membawa orang-orang Protestan kembali ke dalam persatuan dengan Gereja, misalnya Karl Friedrich Bahrdt, dan Johann Friedrich Bahrdt. Dalam perdebatannya tidak ada seorangpun dari lawan-lawannya yang memaksanya untuk mencabut kembali penegasannya dalam tulisannya hingga tahun 1778. Ide Febronius makin berkembang dan diterima oleh berbagai kalangan. Riset Hontheim pun membuktikan bahwa otoritas tertinggi di dalam Gereja kuno terletak dalam tangan uskup dan konsili. Oleh karena itu, superioritas paus saat ini semata-mata bersifat honori, directionis et inspectionis. Dalam pelaksanaannya paus bertugas sebagai pelaksana keputusan konsili. Selain itu, ia dapat mengawasi pelaksanaan dekrit-dekrit konsili serta dapat mengambil keputusan-keputusan dogmatis dan disipliner. Tetapi keputusan dogmatis dan disipliner itu bersifat mengikat hanya setelah diterima oleh Gereja-Gereja nasional  dan keuskupan-keuskupan.Paus yang tidak menghiraukan ketentuan dan cara main seperti ini berarti perampokan. Oleh karena itu, pada dasarnya harus dikembalikan kepada para uskup. Di sinilah peran dan fungsi kekuasaaan sipil yakni mengambil kembali kekuasaaan yang telah diambil oleh paus. Selain itu penguasa sipil dapat mengambil placet, dan dapat memanggil sinode propinsi serta sinode negara.[16]

Tanggapan dari Roma dan  Perdamaian dengan Hotheim
Tulisan Hontheim merambah ke berbagai daerah dan menjadi terkenal di Roma. Buku ini secara resmi dikutuk, 27 Februari, 1764, oleh Paus Clement XIII. Dengan sebuah Brief tanggal 21 Mei 1764, paus memerintahkan Jerman untuk menekan penyebaran buku ini.   Perintah paus hanya diikuti oleh sepuluh prelatus yang tergolong sebagai Pemilih Trier. Sementara itu tidak ada langkah yang diambil terhadap Hotheim meskipun karya tulisannya telah menyebar di Roma. Terlepas dari pelarangan Gereja, buku Febronius cepat berkembang karena isi tulisannya yang menyalakan semangat pembentukan Gereja nasional . Edisi keduabukunya, direvisi, diperbesar, dan dicetak ulang di Venesia dan Zurich, dan terjemahannya muncul dalam bahasa Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Portugis. Zacaria. Ketidaksukaan sentralisme dan Katolik Roma ultramontane meningkatkan popularitas Febronianism  di Portugal, Spanyol, Belanda Austria, Venice, Tuscany dan Naples. [17]
Setelah Paus Clemens XII wafat  Konklaf pemilihan paus baru terjadi selama 4 bulan untuk memilih pengganti paus. Hasilnya KardinalGianangelo Braschi terpilih sebagai pengganti Paus Clemens XIII. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1758. Kemajuan cepat, ia menjadi bendahara ruang apostolik pada tahun 1766, di bawah Paus Clement XIII, dan pada tahun 1773 dijadikan kardinal oleh Paus Clement XIII. Kepribadiannya yang tidak terlalu menarik dan kecenderungannya untuk  berkiprah lebih pada pengejaran prestasi duniawi tidak membawa prestasi perubahan Gereja ke arah yang lebih baik. Sejak awal kepemimpinannya, Paus PiusVI menghadapi kesulitan dalam mempertahankan posisi tradisional Paus. Takhta suci berhadapan dengan opini publik yang semakin membenci kuria dan pemerintah semakin cendrung memaksa paus untuk memberikan persetujuan demi persetujuan untuk memperkuat pengaruh mereka guna mencegah terbentuknya Klerus nasional yang salah satunya tertuang  dalam tulisan Febronius.
Pada masa Paus Pius VI terjadi tindakan khusus bagi Hotheim. Langkah awal yang diambil oleh Paus Pius VI adalah mendesak Clemens Wenzeslaus, Pemilih Trier, untuk menjadi uskup di Tier. Clement Wenzeslaus berasal Polandia. Clement merupakan cucu dari Kaisar Joseph I. Ia diangkat  menjadi uskup Trier pada bulan Februari 1768. Harapan Paus terhadap aksi Clement nampaknya belum berhasil karenaClement terus melindungi Hontheim meskipun identitas tambahannya sebagai Febronius dikenal duta kepausan yakni kardinal Oddi. Pada 1775 Clement Wenzeslaus meminta pendapat para imam Perancis untuk untuk membentuk suatu kesatuan antara negara danGereja. Dalam perakitan pemahaman pada saat itu dihasilkan suatu kesimpulan dari para imam Perancis yakni  menolak Febronianism. Menurut pandangan mereka gerakan Febronius jauh melampaui Gallicanism. Penolakan terhadap tulisan Febronius juga lahir dari para pendeta  Protestan. Bagi mereka keutamaan untuk membangun kembali relasi dengan Gereja Katolik Roma tidak terutama karena penurunan sentralitas Paus saja melainkan pada masalah mendasar antara Gereja Katolik dan konfliknya dengan Gereja-Gereja Kristen. Pertemuan ini berhasil menjelaskan 30 keluhan terhadap takhta suci.[18]
Perjuangan uskup Wenzelaus nampaknya hanya berlaku di keuskupannya sebab di keuskupan-keuskupan lain terbentuk upaya untuk mewujudkan kesatuan antara Gereja dan negara.Konferensi Coblenz 1769, menjadi tanda untuk menerapkan prinsip-prinsip Febronian yang dibuat di Jerman.Konfensi ini dipimpin oleh Hotheim dan dihadiri oleh tiga pemandu Gerejawi yakni Mainz, Cologne, dan Trier yang terwakili dalam delegasi mereka.Dibawah arahan Hontheim, konferensi ini pun berhasil  menyusun daftar tiga puluh pengaduan terhadap Gereja Roma yang asas-asanya sesuai dengan prinsip "Febronius" "Magazin zum Gebrauch der Staaten- und Kirchengeschichte ". Yang lebih penting adalah Kongres Ems tahun 1786, di mana tiga pemuka Gerejawi dan Pangeran-Uskup Salzburg, meniru Kongres Coblenz, dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar "Febronius", membuat upaya baru untuk menyesuaikan kembali hubungan Gereja Jerman dengan Roma, dengan maksud untuk mengamankan yang pertama ukuran kemerdekaan yang lebih besar.Mereka juga memiliki perwakilan mereka yang menyusun Ketetapan Ems dalam dua puluh tiga artikel. Namunmereka mencapai hasil yang tidak praktis. Suatu usaha dibuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip "Febronius" dalam skala besar di Austria, di mana di bawah  arahan Kaisar Joseph II terbentuklah sebuah Gereja nasional didirikan sesuai dengan rencana yang digariskan. Upaya ke arah yang sama dibuat oleh saudara laki-laki Joseph, Leopold, di Grand-Duchy of Tuscany miliknya. Resolusi yang diadopsi di Sinode Pistoia, di bawah Uskup Scipio Ricci, sepanjang garis-garis ini, ditolak oleh mayoritas uskup di negara itu.[19]
Uskup Trier, Wenceslas akhirnya mengancam untuk mencabut jabatan Hontheim sebagai pembantu uskup jika Hotheim tidak menarik tulisannya. Ancaman uskup Trier juga terarah pada semua kerabat Hotheim yang turut bekerja bersama Hotheim.Setelah mendapat teguran dari Uskupnya Hotheim melakukan korespondensi dan menandatangani surat pengakuan yang diberikan oleh  Wenceslaus. Penandatangan ini menjadi suatu  pengakuan kesalahan dari Hotheim kepada Tahta Suci.  Meskipun Hontheim masih menolak untuk mengakui isi tulisannya yang mengarah  pada usaha membentuk kesatuan antara  pemerintah  dan negara.Kardinal Lauchert  yang melihat sikap penyangkalan ini, menilai pengakuan kesalahan Hontheim itu tidak tulus. Keengganan Hontheim mengakui isi tulisannya dikomunikasikan kepada para kardinal di konsistori oleh Pius VI pada Hari Natal. Bahwa retraksi ini tidak tulus. Hontheim  menghasilkan beberapa gerakan-gerakan berikutnya, yakni Salah satunya ialah tulisan Hontheim dengan judul “Justini Febronii Commentarius in suam Retractationem Pio VI. Pont. Max. Kalendis Nov. anni 1778 submissam” (Frankfort, 1781; German ed., Augsburg, 1781). Buku  ini  ditulis untuk tujuan membenarkan posisinya di depan publik. Terlepas dari sikap Hontheim dan pandangan beberapa kardinal tentangnya, Hontheim kemudian didamaikan dengan Gereja Katolik Roma sebelum kematiannya.[20]

Penyebaran Febronianisme
Permintaan maaf yang disampaikan oleh Hontheim dan perdamaiannya dengan Gereja Katolik Roma ternyata tidak menghentikan pergerakan ajarannya. Negara-negara yang menelan ajaran Febronimus tergolong sebagai negara yang mementingkan tendensi absolitisik penguasa sipil. Lagi pula uskup-uskup dalam Gereja Katolik pada waktu itu berasal dari para pangeran kerajaan. Mencuat dan berkembangnya ajaran Febronius bisa dikatakan sebagai jawaban dari kerinduan para pangeran untuk dapat memiliki kekuasaan ganda dalam negara dan Gereja.  Dengan demikian mereka berusaha meletakan posisi Gereja dibawah kendali penguasa sipil. Negara-negara tersebut ialah pemerintah Perancis, Belanda Austria, Spanyol dan Portugal, Venesia, Austria, dan Tuscany. Negara-Negara ini pun kemudian  menerima pengembangan lebih lanjut ide Gereja nasionalis  di tangan para teolog pengadilan dan kanonis yang menyukai skema Gereja nasional. Para Teologan itu  ialah  profesor Franz Anton Haubs yang menerbitkan rancangannya mengenai Gereja nasional dalam karangan berjudul, "Themata ex histori ecclesiastica de hierarchia sacra primorum V saeculorum" (Trier, 1786); dan "Systema primævum de potestate episcopali ejusque applicatio ad episcopalia quaedam jura di specie punctationibus I. II. Et IV. Congressus Emsani exposita" (Trier, 1788); dan Wilhelm Joseph Castello,  yang mengeluarkan disertasi berjudul, "Dissertatio historica de variis causis, queis accidentalis Romani Pontificis potestas successive ampliata fuit" (Trier, 1788). Perombakan Gereja di Austria terjadi melaui perumusan para kanonis yang berada di Autria yakni Paul Joseph von Riegger, Pehem, dan Johann Valentin Eybel . Mereka  yang paling banyak berkontribusi terhadap penyusunan aturan hukum baru yang mengatur hubungan Gereja dan Negara, yang direduksi menjadi praktik di bawah  Kaisar Joseph II. Yang terutama patut dicatat seperti yang dikandung dalam semangat ini adalah buku-buku teks tentang hukum kanonik yang ditentukan untuk universitas-universitas Austria, dan disusun oleh Paul Joseph von Riegger, "Institutiones juris ecclesiastici" (4 jilid, Wina, 1768-72; sering dicetak ulang), dan Pehem , "Prélectiones in jus ecclesiasticum universum", juga, dengan cara yang lebih jelas, karya Johann Valentin Eybel, "Introductia in jus ecclesiasticum Catholicorum" (4 jilid, Wina, 1777;)[21]
Penyebaran buku Febronius  juga terjadi di Spayol pada tahun 1767. Dewan Kastilia dan jaksa agung di Avia  mendukung dan membuat harga penjualannya menjadi lebih murah sehingga memudahkan orang untuk membelinya. Sedangkan Portugal, mereka tidak hanya mencetak dan menterjemahkannya dalam bahasa mereka, tetapi juga mendistribusikannya serta menyarankan agar setiap orang membacanya. Raja Portugal sendiri mengutip ajaran Febronianisme dalam politiknya untuk melawan masa depan perkembangan Gereja.[22]

Kongres Ems
            Gereja mengadakan sinode reformasi pistoa untuk meredam gebrakan aliran febronianisme, namun nampaknya inisiatif Gereja belum berhasil. Sinode reformasi Pistoia dipimpin oleh  Uskup Scipione de 'Ricci yang ditolak oleh mayoritas uskup negara. Para uskup negara lebih tertarik pada Kongres Ems, di mana terdapat  tiga Gerejadan pangeran dari Cologne, Mainz,Trier dan Pangeran dan Uskup Keuskupan Agung Salzburg. Konfrensi Ems menghasilkan dua-puluh tiga  keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari "Febronius".[23]Selanjutnya disahkan dan dikeluarkan oleh uskup agung dalam  sebuah punctuationyang merupakan suatu perjanjian awal atau kontrak.  Dokumen ini adalah  tuntutan dari para uskup untuk takhta suci. Dua puluh tiga artikel dari dokumen ini dapat diringkas sebagai berikut:Uskup, melalui kuasa yang mereka terima dari Tuhan sendiri, memiliki otoritas penuh atas keuskupan mereka dalam semua masalah dispensasi, otoritas spiritual, dan lain-lain.Peran nuncio kepausan harus direvisi dan dikurangi.Sumpah setia kepada paus, yang diminta oleh Paus Gregorius VII dari uskup, harus diubah sesuai dengan hak para uskup.Biaya dan anuitas yang dibutuhkan untuk pemberian pallium dan untuk konfirmasi sebagai uskup, harus dikurangi. Jika konfirmasi episkopal tidak dikabulkan, seorang uskup harus dapat terus bekerja di bawah perlindungan kaisar.Selama persidangan sebelum naikbanding di hadapan pengadilan archiepiscopal, kepausan harus menjauhkan diri dari intervensi apapun.Meskipun pada prinsipnya, mereka tidak menentang pengadilan banding tertinggi di Roma, lebih baik setiap keuskupan agung memiliki pengadilan banding tertinggi, tergantung pada sinode provinsi.Kaisar diundang untuk mendesak Paus untuk mengadakan dewan nasional untuk menangani pelanggaran yang tidak ditangani oleh Konsili Trente . Melalui ringkasan ini dapat ditemukan hadirnya benih-benih dari ide Febronius yang telah tumbuh dan berkembang dalam pemikiran para uskup dan pangeran di Jerman.[24]

Runtuhnya Gereja Nasional
Buah dari Kongres Ems seakan menutup pintu bagi rekonsiliasi antara Gereja katolik dengan Gereja nasional. Namun  revolusi Perancis melakukan  pecah dan Gereja Jerman turun dalam badai.Tahun  1803 sekularisasi yang dilakukan atas perintah Konsul Prancis mengakhiri ambisi duniawi pejabat Gereja Jerman. Gelombang reaksi setelah gejolak revolusioner terbenam kuat ke arah otoritas tradisional,agama sebagai dalam politik dan bahwa gerakan ultramontane yang sebelum abad itu berakhir, adalah untuk mendominasi Gereja, itu sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang penuh semangat. Selain itu, Gereja nasional yang besar Jerman yang Hamberg memiliki visi  dengan dirinya sebagai primata  tidak menarik bagi para pangeran Jerman. Satu demi satu ini masuk ke setuju dengan Roma, dan Febronianism dari kebijakan agresif mereda menjadi pendapat spekulatif. Karena itu sangat kuat, terutama di perguruan tinggi (di Bonn 1774), dan menyatakan dirinya penuh semangat dalam sikap dari banyak uskup Jerman yang paling terpelajar dan profesor terhadap pertanyaan dari definisi dogma Katolik infalibilitas paus pada tahun 1870. Hal ini, pada kenyataannya, terhadap posisi Febronian bahwa dekrit Konsili Vatikan Pertama sengaja diarahkan, dan diundangkan mereka menandai kemenangan pandangan ultramontane. Di Jerman, memang, perjuangan melawan monarki kepausan dilakukan untuk sementara waktu oleh pemerintah pada Kultur-kampf, kaum Katolik dari berbagai daerah menekan dokrin  Febronianisme. Yang terakhir, namun, karena Otto von Bismarck  telah tenggelam ke dalam sebuah sekte terhormat tapi relatif tidak jelas, dan Febronianisme, meskipun masih beberapa berpegang pada pendapat dalam Gereja dalam bab-bab dan universitas provinsi Rhine, itu praktis punah di Jerman. [25]

Refleksi Kritis
Tanggapan atas sentralisasi dan infabilitas kepausan terjadi dalam Gereja, pada dasarnya diakibatkan karena sistem organisasi kepausan tidak menunjukan kejelasan yang otonom.Ketergantungan Gereja terhadap pemerintah sipil, membuat kewibawaan dan otoritas kepausan tidak diakui sebagai pemimpin tertinggi dalam Gereja.Pengakuan otoritas kepausan tidak secara jelas dicantumkan dalam hukum bahkan belum dijadikan sebagai dogma.Keadaan ini menjadi peluang besar bagi para pemerintah sipil dalam menguasai kepausan.Hal ini mengakibatkan kebebasan hak-hak raja untuk mendominasi para uskup dan para petinggi Gereja lainnya.Munculnya gerakan Febronianisme mendapat pengaruh dari aliran Galikalisme. Awal munculnya Galikan yang kemudian melahirkan Galikalisme politis, diakibatkan karena timbulnya sikap yang condong  menerima campur tangan kekuasaan sipil dalam masalah keagamaan. Pengaruh aliran ini, terus berlanjut dan berkembang menuju Jerman yang kemudian melahirkan aliran yang di sebut dengan Febronianisme. Semasa munculnya gerakan Febronianisme tersebut, Gereja Jerman mengalami kekacauan karena keterlibatan pemerintah sipil dalam urusan keagamaan. Kekacauan semakin bertambah sebab sebagain besar para uskup diangkat dari pangeran kerajaan bahkan akan menjadikan Gereja sebagai sebuah negara federal. Dengan demikian, aliran Galikalisme maupun Febronianisme mempunyai kesamaan, yakni sebagai tanggapan atas kuasa yang diemban oleh pemimpin tertinggi Gereja.Dengan melihat otoritas paus yang melebihi segalanya, Febronius mencoba mengemukakan pandangannya, berdasarkan pada hasil penelitiannya mengenai cikal bakal kedudukan paus dalam Gereja kuno.Ia berpandangan bahwa kekuasaan tertinggi bukan terletak pada paus melainkan pada tangan uskup. Pandangan ini memberikan implikasi bahwa ia menginginkan Gereja dibawah kuasa pemerintah sipil dan memberi peluang besar bagi para uskup yang adalah pangeran untuk mengambil ahli kekuasaan yang telah dimiliki oleh paus.


Dafar  Pustaka

Douglas, J. D. (ed.). The New Internatinonal Dictionary of The Christian Church. Michigan: The Pater Noster Press, 1978.
Heraty, Jack and Assosris, New catholic Encyclopedia, vol. 5. Washintong: The Catholic University Of Amerika, 1967.
Jedin, Hubert (ed.). The History of The Church, vol. VII . London: Burns and dates,   1981.
Kunziger, J..Febronius et Febronianisme. Brussels: Royal Academy of Sciences, 1891.
Kristianto, Eddy. Reformasi dari Dalam. Yogyakarta:Kanisius, 2004.
Kristianto, Edy.Selilit Sang Nabi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Sembiring, Husin. Sejarah Agama Kristiani II. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005  (Diktat).




                [1]J. Kunziger, Febronius et Febronianisme, (Brussels: Royal Academy of Sciences, 1891), hlm. 26.
                [2]Eddy Kristianto, Reformasi dari Dalam (Yogyakarta:Kanisius, 2004), hlm.171.
                [3]Husin Sembiring, Sejarah Agama Kristiani II (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005), hlm. 68. (Diktat).
                [4]Husin Sembiring, Sejarah …, hlm. 67. (Dikta
[5]Eddy Kristianto, Reformasi …, hlm. 170.

                [6]Eddy Kristianto, Reformasi…, hlm. 135-136.
                [7]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 14-15.
                [8]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 13-14.
                [9]Jack Heraty and Assosris, New catholic Encyclopedia, vol. 5 (Washintong: The Catholic Universuty Of Amerika, 1967), hlm. 868.
                [10]Jack Heraty and Assoaris, New catholic …, hlm. 869.
                [11]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 178.

                [12]J. Kunziger, Febronius …, hlm.26-27
                [13]Charles Poulet, A History of The Catholic Church, vol. II (New York: Herder Book, 1935) hlm. 313-314.
                [14]Charles Poulet, A History …, hlm. 315.
                [15]Edy Kristianto, Selilit Sang Nabi (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 149.
[16]  Eddy Kristianto, Reformasi, hlm.169.
                [17]J. D. Douglas (ed.), The New Internatinonal Dictionary of The Christian Church (Michigan: The Pater Noster Press, 1978), hlm. 371.
                [18]Hubert Jedin (ed.), The History of The Church, vol. VII (London: Burns and dates, 1981), hlm. 104-108.
                [19]Hubert Jedin (ed.), The History …, hlm. 112.
                [20]Hubert Jedin (ed.), The History …, hlm. 220-224.
                [21]Hubert Jedin (ed.), The History …, hlm. 264.
                [22]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 70-71.
                [23]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 170.
                [24]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 168-171.
[25]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 172-174.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar