Rabu, 14 November 2018

Budaya Lamaholot- kereligiusitasan kesenian



KESENIAN BUDAYA LAMAHOLOT

1. PENDAHULUAN
Suku lamaholot adalah salah satu komunitas yang terdapat di kabupaten Flores Timur yang terdiri dari Larantuka, Solor, Adonara dan sebagian lagi dari kabupaten Lembata (kecuali etnik Kedang). Masyarakat Lamaholot bernaung di bawah satu keyakinan dengan sebutan Lera Wulan Tanah Ekan yang merupakan wujud tertinggi kepercayaan mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Masyarakat Lamahohot terkenal dengan beragam budaya dan kesenian yang adalah warisan dari para leluhur mereka. Hampir setiap daerah memiliki budaya dan kesenian yang sama walaupun terpisah daratannya. Kesenian yang dimiliki masyarakat Lamaholot ini sebagian besar telah mengalami pergeseran makna seiring berjalannya waktu. Namun ada juga yang mempertahan makna asli yang diwariskan oleh para leluhur mereka.Tulisan ini mengedepankan garis besar budaya Lamaholot dalam bidang kesenian dengan memberikan klasifikasi apakah tergolong dalam hal-hal yang bersifat religius/sakral ataukah bersifat profan untuk dijadikan bahan pengetahuan.

2. ISI
2.1 Kesenian yang Bersifat Religius/Sakral
2.1.1 Tarian
a.       Tarian Hedung
Tarian Hedung merupakan tarian perang. Menurut sejarahnya, pada zaman dahulu sering terjadi perang tanding, baik antar suku maupun antar kampung. Sebelum berangkat ke medan perang, mereka terlebih dahulu berkumpul untuk melakukan tari hedung dan ritual agar diberikan keselamatan dan kemenangan dalam peperangan. Selain itu, Tarian Hedung dimakanai oleh masyarakat Lamaholot sebagai penghormatan kepada leluhur dan juga sebagai tarian penyambut dalam sebuah serimonial tertentu.
b.      Tarian Hama/hamang
Tarian ini bersifat religius karena bertujuan untuk memberi penghormatan serta mengenang roh-roh nenek moyang, yang bagi masyarakat Lamaholot mempunyai jasa besar untuk kehidupan mereka.
Berdasarkan pada sejarahnya, tarian ini beasal dari nama orang yaitu Hama yang kemudian dijadikan sebagai nama salah satu suku yakni suku Namang.[1]

c.       Tarian Namanigi
Berasal dari daerah Lamatou. Tarian ini dibawakan oleh pria dan wanita dalam membuka atau bahkan menutup sebuah ritual. Tarian ini bukan sekedar sebagai penghibur melainkan menghantar orang untuk masuk dalam ritual yang akan dilaksanakan.
d.      Tari Muro Ae
Tarian ini pada awalnya dilakukan pada saat penyambutan tamu agung kerajaan. Dalam perkembangannya tari Muro Ae masuk dalam ritual khusus perkawinan yakni jemput dan antar pengantin.Tarian ini hanya dilakukan oleh kaum wanita.

2.1.3  Alat Musik
Alat musik tradisional masyarakat Lamaholot yang mempunyai sifat religiusitas yaitu:
Ø  Gong Ina
merupakan gong induk yang memiliki ukuran yang besar
Ø  Gong Ana
Anak Gong yang mempunyai ukuran yang lebih kecil dan biasanya berjumlah tiga samapi lima buah.
Ø  Gong Amalake
Mempunyai ukuran yang sama dengan gong Ana tetapi mempunyai bunyi yang berbeda.
Ø  Geda/gendang
Biasanya Terbuat dari kulit kambing dan memiliki ukuran yang cukup besar, sedangkan kayunya dari batang pohon lontar.

2.1.4 Busana Adat
a.       Kwatek
Sarung yang dipakai oleh kaum wanita dan merupakan pakain resmi dalam adat istiadat masyarakat lamaholot misalkan ketika mengikuti ritual-ritual tertentu dan juga dipakai dalam tarian hedung.Proses pembuatan Kwatek memakan waktu yang cukup lama karena bergantung pada musim berbunga dari pewarna(kerore) dan bergatung pada musim berbuah kapas.
Kereligiusannya terletak pada corak motif yang tergambar serta warna pada sarung tersebut. Setiap corak motif mempunyai makna tersendiri yang sangat mempengaruhi penggunaanya, artinya harus sesuai suasana yang tepat.
b.      Nowi’n
Sarung yang digunakan oleh kaum pria. Penggunaan Nowi’n sama dengan Penggunaan Kwatek pada kaum wanita. Kedua Tenunan Tradisional Ini menjadi  busana resmi bagi masyarakat lamaholot.[2]


c.       Snuji
Busana yang dipakai oleh kaum wanita dan pria dalam tarian adat seperti dalam tarian Namanigi. Pakaian ini mempunyai sisi religiusitas yang tinggi sebab mempunyai motif yang terlihat cukup seram yang menggambarkan relasi antara roh-roh para leluhur. Warna dasarnya ialah hitam keabu-abuan.

2.1.5 Seni arsitektur dan ukir tradisional
a.       koko/korke
Dalam melaksanakan segala ritual yang berkaitan dengan Lera Wulan Tana Ekan, masyarakat Lamaholot mendirikan rumah adat yang disebut dengan koko/korke.[3] Setiap kampung memiliki korke atau rumah adatnya masing-masing. Kontruksi rumah adat ini berupa bangunan tinggi dengan atap lancip yang terbuat dari alang-alang. Korke berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka milik suku dan juga sebagai tempat kebaktian pelaksanaan berbagai ritus adat dan pusat sosialisi atau pertemuan dari setiap kepala suku.
Korke merupakan “gereja’ tradisional leluhur, pusat pengharapan dan penghiburan mereka. Upacara ritual keagamaan dilakukan di korke yang berfungsi sebagai ‘rumah ibadah” dan tempat para sesepuh adat bermusyawarah mengenai masalah atau persoalan penting suku tentang urusan agama dan adat.[4]
b.      Seni ukir pada dinding korke
Ukiran yang terdapat pada beberapa bagian kayu rumah adat secara filosofis mempunyai arti penting, selain keindahan. Ukiran itu umumnya memiliki makna religius dan kosmos karena hanya dilakukan seniman yang paham tradisi setempat. Terdapat berbagai jenis ukiran yang pada umumnya melambangkan kehidupan seperti pohon-pohon, air, ular, ayam, cecak dan berbagai jenis binatang lainnya yang agak sulit dipahami.
c.       Nuba Nara
 Nuba Nara merupakan sebuah batu yang dibentuk sedemikian rupa oleh Masyarakat Lamaholot untuk dijadikan meja persembahan atau altar.
Tanda atau simbol kehadiran Wujud Tertinggi Lera Wulan Tanah Ekan, diimani lewat Nuba Nara.[5] Nuba Nara menurut pandangan masyarakat Lamaholot yang belum mengenal gereja adalah sebagai tempat suci di mana mereka dapat menyampaikan permohonan, misalnya: mendatangkan hujan, supaya panen berhasil, terhindar dari segala penyakit, terhindar dari bencana alam yang merugikan hidup mereka dan menang dari perang. Dari pandangan masyarakat Lamaholot terhadap Nuba Nara ini membawa sisi religiusitasnya hingga saat ini.
d.      Seni ukir Neak.
Neak adalah salah satu alat minum Tradisional yang terbuat dari tempurung kelapa tua. Bentuknya seperti piala. Penggunaan alat Neak ini sebagai alat minum arak pada saat upacara adat dan hanya dikhususkan pada orang tertentu seperti para ketua suku dan pembesar lainnya.
e.       Seni ukir Knume (parang)
Parang dalam kebudayaan masyarakat lamaholot terdapat beberapa jenis salah satunya ialah Knume Bliwa (parang perang) yang digunakan oleh masyarakat Lamaholot dalam tarian hedung. Parang ini berukuran panjang dan sedikit melengkung. bagi masyarakat di daerah Tanjung Bunga, parang ini hanya dapat digunakan pada saat ritual adat berlangsung.

2.1.6 Seni Suara Tradisional
a.       Maraboka
 Maraboka merupakan sebuah lagu yang biasa dibawakan oleh masyarakat Lamaholot terlebih khusus dari dareah Lamatou dalam acara adat tertentu seperti dalam upacara perkawinan, upacara oho ana (permandian) dan juga ketika ingin berhubungan dengan roh-roh nenek moyang.. Maraboka adalah syair lisan yang dibawakan oleh orang tertentu yang mempunyai kharisma tersendiri. Pada umumnya merupakan warisan dari para leluhur mereka.
b.      Opak
Lagu ini dibawakan pada saat saat upacara kebesaran suku yang bisa dibawakan oleh ketua suku atau mereka yang mempunyai kemampuan dalam bidang ini. Opak dibawakan pada saat upacara adat ola ma (garap lahan), pula ma (manen dan membersihkan padi) juga dalam upacara hode ana (jemput pengantin).
c.       Hoke
Sejenis syair lagu yang dibawakan oleh ketua suku atau orang yang telah dikaruniai kemapuan dari para leluhurnya, dalam upacara penyambutan tamu kebesaran. Dalam perkembangannya, lagu ini dibawa juga oleh masyarakat Lamaholot di daerah Tanjung Bunga dan Lewolema ketika menerima imam baru. Selain sebagai tanda penghormatan bagi tamu, lagu ini juga akan membawa kita pada sisi religiusnya yakni mengucap syukur kepada Sang Penguasa Bumi.

2.2  Kesenian yang Bersifat Profan
2.2.1 Tarian
a.       Tarian Dolo-dolo
Tarian Dolo-dolo identik dengan lamaholot dan merupakan salah satu tarian yang populer bagi masyarakat Flores Timur, lembata, adonara dan Solor. Tarian ini dikategorikan sebagai tarian massal yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat dari semua kalangan. Pada zaman dahulu, tarian dolo-dolo sangat menonjol bagi kaum muda mudi sebagai arena perjumpaan untuk membangun persahabatan dan menemukan jodohnya.
Dalam tarian ini, setiap peserta akan saling mentautkan jari kelingking dan membentu lingkaran. Para peserta akan saling melantunkan pantun dan saling berbalas-balasan. Selama masih bisa berbalas-balasan tarian ini tidak akan berhenti. Tarian ini lebih bertujuan pada rekreatif dan untuk menggembirakan suasana.
b.      Tarian Kote/Gasing
Tarian ini muncul dari permainan gasing atau kote yang biasa dilakukan oleh anak-anak remaja di depan pelataran korke.[6] Khusus dari daerah Tanjung Bunga tepatnya di desa Lamatou tarian kote dijadikan sebagai ajang perjudian untuk memperebutkan seorang gadis. Tarian ini lebih pada sebuah permainan yang besifat rekreatif.
2.2.2 Alat musik tradisional
a.       Gambus
Gambus merupakan salah satu alat musik tradisonal masyarakat Lamaholot yang tidak memiliki sifat religius. Penggunaan alat musik gambus tidak pada orang tertentu tetapi berlaku untuk semua kalangan. alat musik ini dapat digunakan untuk mengiringi setiap tarian baik yang bersifat religius maupun profan.
b.      Letto
Letto adalah salah satu jenis alat musik yang berasal dari daerah Adonara. Fungsi alat musik ini bukan sebagai pengiring tarian atau lagu tetapi bunyinya digunakan untuk memanggil orang untuk berkumpul.Biasanya di pasang di kebun dan bunyinya sebagai tanda memulai suatu kegiatan di kebun.
2.2.3 Perhisan Tradisional
a.       Nille (manik-manik)
Nille merupakan alat perhiasan tradisonal yang di kenakan pada leher kaum wanita. Pada zaman dahulu nille mempunyai makna religius yang tinggi karena hanya dikenakan pada orang tertentu yakni wanita-wanita dewasa dan digunakan dalam tarian adat. Tetapi Dalam perkembangan waktu sisi religius atau kesakralannya hilang akibat penggunaan nille secara bebas bagi semua kalangan.
b.      Kala bala
Kala Bala (Gelang dari gading)  merupakan salah satu jenis perhiasan bagi kaum wanita yang semakin populer saat ini. Kepopulerannya dan pemakaian oleh semua kalangan masyarakat membuat Kala Bala kehilangan sisi religiusnya. Pada zaman dahulu Kala Bala hanya dipakai oleh kaum wanita yang akan beranjak dewasa. Kala Bala sebagai simbol kedewasaan seseorang mengalami pergeseran makna menjadi sebuah perhiasan semata.


3. PENUTUP
Hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari budaya. Budaya merupakan salah satu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagai bentuk warisan dari para leluhur, warisan itu tidak selalu bersifat tetap namun dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Masyarakat Lamaholot memiliki berbagai jenis kebudayaan yang dijadikan sebagai kekayaan mereka. Sebagai makluk yang berbudaya, masyarakat Lamaholot mampu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan mereka yakni salah satunya kita temukan dalam kesenian budaya Lamaholot yang terdiri dari seni tari, seni musik, seni arsitektur dan ukir, seni suara dan sebagainya yang masih dapat bertahan hingga saat ini. Setiap kesenian daerah selalu memiliki makna tersendiri bagi mereka yang telah diamanatkan oleh para leluhur mereka. Makna religiusitas dari suatu kesenian membuat masyarakat Lamaholot semakin menghargai serta menjaga kelestarian budaya mereka.
Harus juga diakui bahwa sisi religiusitas atau kesakralan dari suatu kesenian, suatu waktu akan mengalami pergeseran makna sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern . Ini merupakan suatu tantangan yang harus dihadapai oleh masyarakat Lamaholot dalam mempertahan sifat religius kebudayaan mereka.






Bibliografi
Ataladjar, Thomas B. Dari Tanah Nubanara Menuju Tanah Misi. Jakarta:          koker, 2015.
Hurit, Silvester Petala (ed.). Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur(Lamaholot). Ende: Nusa Indah, 2015.













[1]  Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah Nubanara Menuju Tanah Misi (Jakarta: Koker, 2015), hlm. 79.
 [2]  Silvester Petala Hurit, et al (ed.), Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur (Lamaholot) (Ende: Nusa Indah,2015), hlm. 117.
[3]   Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah…, hlm. 100.
[4]   Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah…, hlm. 109.
[5]   Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah…, hlm. 101.
[6]  Sivester Petala Hurit, et al (ed.), kumpulan…, hlm. 159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar