Nama : Yordianus Pajo Hewen
NIM : 170510061
Tingkat :
II
Mata Kuliah :
Moral Fundamental
Dosen :
Largus Nadeak, Lic. S. Th.
HATI NURANI SEBAGAI
PENILAIAN MORAL
PENGANTAR
Manusia dalam bertindak tidak
terlepas dari pengetahuan moral. Pengetahuan mengenai hati nurani adalah
pengetahuan yang sangat penting dan sebagai ilmu tertinggi yang dapat
berhubungan langsung dengan Tuhan.Sebagai ilmu tertinggi, hati nurani dapat
memberikan penilaian dan kesaksian mengenai kebaikan moral atau kejahatan kepada
dirinya sendiri. Hati nurani mempunyai kaitan yang jelas dengan moralitas
karena hati nurani dapat menyingkapkan dengan terang dimensi etis dalam hidup
manusia. Hati nurani mengungkapkan penghayatan tentang baik buruk berkaitan
dengan tingkah laku yang konkret. Ia sebagai pedoman yang bisa digunakan untuk
membedakan antara yang benar secara moral dan yang salah serta mendesak kita
untuk melakukan apa yang kita anggap sebagai suatu kebenaran. Hati nurani
menjatuhkan penilaian atas tindakan kita dengan mengeksekusi penilaian itu di
dalam jiwa kita. Sesungguhnya suara hati merupakan penilaian moral mengenai
manusia dan perbuatan-perbuatannya, suatu penilaian untuk menyatakan tidak
bersalah atau mengutuk dengan berdasarkan dari apakah perbuatan itu selaras
atau tidak dengan hukum Allah yang tertulis dalam hati.[1]
A. Pengertian Hati Nurani
Hati nurani berasal dari bahasa
Inggris yakni conscientia berasal
dari kata Latin conscientia, dengan
dua suku kata con yang berarti “dengan”
atau “bersama” dan kata scire yang
berarti “mengetahui”. Berdasarkan arti etimologisnya, hati nurani berarti
mengetahui dengan atau mengetahui bersama. O. Hallesby, Seorang ahli teologi
Norwegia merumuskan hati nurani sebagai kesadaran atau suatu hukum yang kudus,
yang jauh melebihi yang dimiliki manusia.[2]
Sedangkan Immanuel Kant mengartikan hati nurani sebagai salah satu bagian dalam
diri setiap orang yang sedia atau tidak sedia menanggapi hukum moral yang universal
yang sebenarnya adalah hukum moral Allah.[3]
Katekismus Gereja Katolik merumuskan hati nurani sebagai keputusan akal budi,
di mana manusia mengerti apakah suatu perbuatan konkret yang direncanakan,
sedang dilaksanakan atau sudah dilaksanakan. Dari beberapa pengertian di atas,
hati nurani dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang dianugerahkan Allah kepada
manusia, agar manusia mampu membedakan hal yang baik dan hal yang buruk dan
bertindak secara tepat. Hati nurani merupakan kesadaran personal yang berperan
dalam situasi konkret untuk mengetahui, mengenal, menyaksikan, menilai dan
mengadili.
B. Penilaian Hati Nurani
Penilaian hati nurani adalah suatu
penilaian praktis. Suatu penilaian yang menyebabkan diketahuinya apakah
perbuatan itu harus dilakukan seseorang atau tidak boleh dilakukannya atau
menilai suatu perbuatan yang telah dilakukan. Hati nurani membuka tuntutan yang
obyektif dan universal dari kebaikan moral menjadi suatu perintah batin bagi
individu dan suatu ajakan untuk melakukan apa yang baik dalam situasi
tertentu. Hallesby mengungkapkan bahwa hati nurani tidak dapat bertindak,
melainkan hanya dapat menyampaikan penilaian.[4]
Hallesby menguraikan penilaian hati nurani dalam empat cara yaitu pertama, penilaian itu yang terakhir
dan tidak memihak. Hati nurani tidak mempertimbangkan bukti, tetapi hanya
membuat penilaian pribadi sekaligus tidak memihak, sebab ia menerima informasi
yang diberikan kepadanya dan menyatakan penilaiannya. Kedua, hati nurani tidak dapat dibantah dan dapat dibawa naik
banding. Sekali telah berbicara, hati nurani tidak dapat diyakinkan, dibujuk
atau diperintah untuk mengubah penilaiannya. Ketiga, hati nurani bersifat pasti, yaitu memberikan penilaiannya
dan tidak memberikan alasan-alasannya. Ia tidak menjelaskan mengapa ia menilai
suatu tindakan dengan cara tertentu, tetapi hanya menyatakan bahwa tindakan itu
benar atau salah. Keempat, hati
nurani bersifat individual. Hati nurani seseorang tidak dapat menilai sesuatu
dengan cara yang persis sama seperti hati nurani orang lain menilai sesuatu.
Hati nurani berbicara hanya kepada satu individu, tidak kepada seorangpun yang
lain dan ia dipengaruhi oleh pengajaran atau pengalaman yang khas dari individu
tersebut.[5]
Penilaian hati nurani tidak hanya
terbatas pada tindakan-tindakan kita. Objek penilaian hati nurani sangatlah
beragam. Hati nurani menilai kata-kata kita, yakni apa yang telah kita katakan
dan cara bagaimana kita mengatakannya. Penilaian itu menurut kejujuran, kasih
dan kebaikan yang dinyatakan melalui komunikasi kepada orang lain. Selain
menilai kata-kata kita, hati nurani juga menilai pikiran-pikiran kita. Manusia
sering kali menekan hati nuraninya pada titik ini. Hal ini terjadi karena belum
terjadi suatu tindakan yang dapat dilihat dan juga pikiran sering menjadi kacau
serta dapat berlalu begitu cepat. Hati nurani bekerja pada pikiran-pikiran yang
secara terus menerus timbul dan tenggelam, pola-pola yang berlangsung lama dan
sesaat ataupun yang mengandung bahaya. Hati nurani memperingatkan kita pada
saat pola pikiran tersebut muncul. Hati nurani juga menilai sikap-sikap kita.
Sikap-sikap adalah semua perasaan atau pendapat kita tentang hal-hal tertentu
misalnya kita menyimpan sikap-sikap kasih, benci, simpati, amarah,
ketidakprihatinan dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut berada pada satu tingkat
di bawah pikiran-pikiran yang sadar. Hati nurani menelusuri serta menilai semua
sikap yang muncul tersebut. Akhirnya, hati nurani menilai motivasi-motivasi
kita. Motivasi merupakan alasan-alasan langsung yang mendasari suatu tindakan
tersebut dinyatakan. Suatu motivasi yang benar akan menghasilkan suatu tindakan
yang baik atau tepat. Hati nurani akan menilai apakah motivasi yang muncul
bertentangan atau sesuai dengan hukum moral yang berlaku.[6]
Hati nurani berfungsi setiap saat,
tetapi kekuatan dan kemampuannya untuk mempengaruhi berubah-ubah. Fungsi suara
hati dalam menilai tidak selalu berjalan tetap. Dalam keadaan tertentu ia
berbicara dengan lemah dan kadang-kadang dengan sangat keras dan jelas. Hati
nurani biasanya sulit menilai sebelum suatu tindakan direncanakan dimulai.
Seberapa kuat ia berbicara sangat dipengaruhi oleh informasi yang telah
dimasukan dalam pikiran kita. Tetapi, selama suatu tindakan sedang dilakukan,
hati nurani biasanya berada pada tingkat pengaruh yang paling lemah. Hal ini
terjadi sebab kita sering terlalu fokus untuk terlibat dalam apa yang sedang
kita kerjakan, sehingga membuat kita tidak peka terhadap jeritan hati nurani
kita. Hati nurani berbicara dengan sangat keras setelah suatu tindakan itu
selesai. Hati nurani membuat penilaian dan mendesak kita membuat restitusi atas
kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh tindakan itu.[7]
KESIMPULAN
Hati nurani merupakan anugerah
universal dari Allah. Dalam hati, setiap manusia sebelum bertindak atau
melakukan sesuatu, ia sudah mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada
yang baik dan ada yang buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut walaupun taraf kesadaran dari setiap manusia
berbeda-beda. Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis, pada saat itulah
kata hati akan menilai apakah perbuatan itu baik atau buruk. Penilaian suara
hati mempunyai corak mewajibkan di mana manusia harus bertindak sesuai
dengannya. Jika manusia bertindak melawan penilaian tersebut maka ia akan
dihukum oleh hati nuraninya sendiri yang merupakan norma terakhir dan moralitas
pribadi. Penilaian tindak membentuk hukum melainkan memberi kesaksian mengenai
otoritas dari hukum alam dan akal praktis dengan menunjukkan kebaikan
tertinggi.[8]
REFLEKSI
KRITIS
Suara hati sebagai penilaian dari
suatu perbuatan, tidak luput dari kemungkinan untuk keliru. Konsili Vatikan II
mengungkapkan bahwa “akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa suara hati
tersesat. Santo Paulus juga menasihatkan kepada kita bahwa suara bukanlah suatu
penilaian yang tidak dapat keliru, suara hati dapat melakukan kesalahan. Namun
kekeliruan itu terjadi atas ketidaktahuan yang tidak dapat diatasi atau tidak
disadari oleh si pelaku. Suara hati sebagai penilaian konkrit yang terakhir
memperoleh martabatnya apabila hati nurani memperoleh kebenaran. Kebenaran yang
diperoleh tersebut merupakan suatu kebenaran yang obyektif bukanlah secara subyektif, sebab suatu
kebenaran yang diakui secara subyektif hanya akan menimbulkan kesesatan. Dengan
demikian, untuk dapat memperoleh penilaian hati nurani yang benar atas suatu
tindakan, hati nurani perlu mendapat pelatihan yang secara terus menerus dengan
membiasakan diri untuk mendengarkan secara cermat dan teliti setiap bisikan
hati nurani.
Daftar
Pustaka
Hallesby,
O. Conscience. London: Inter-Varsity
Press, 1950.
Yohanes Paulus II. Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya
Kebenaran). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
While,
Jerry. Kejujuran, Moral dan Hati Nurani.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
[1] Yohanes Paulus
II, Ensiklik Veritatis Splendor
(Cahaya Kebenaran) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994),
no. 120.
[3] Jerry While, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987),
hlm. 13-14.
[6] Jerry While, Kejujuran…, hlm. 22-23.
[7] Jerry while, Kejujuran…, hlm. 20.
[8] Yohanes Paulus
II, Ensiklik…, no. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar