Kamis, 13 Desember 2018

Tugas Moral Fundamental (semester 1)


Nama                   : Yordianus Pajo Hewen
NIM                     : 170510061
Tingkat               : II
Mata Kuliah       : Moral Fundamental
Dosen                  : Largus Nadeak, Lic. S. Th.

HATI NURANI SEBAGAI PENILAIAN MORAL
PENGANTAR
            Manusia dalam bertindak tidak terlepas dari pengetahuan moral. Pengetahuan mengenai hati nurani adalah pengetahuan yang sangat penting dan sebagai ilmu tertinggi yang dapat berhubungan langsung dengan Tuhan.Sebagai ilmu tertinggi, hati nurani dapat memberikan penilaian dan kesaksian mengenai kebaikan moral atau kejahatan kepada dirinya sendiri. Hati nurani mempunyai kaitan yang jelas dengan moralitas karena hati nurani dapat menyingkapkan dengan terang dimensi etis dalam hidup manusia. Hati nurani mengungkapkan penghayatan tentang baik buruk berkaitan dengan tingkah laku yang konkret. Ia sebagai pedoman yang bisa digunakan untuk membedakan antara yang benar secara moral dan yang salah serta mendesak kita untuk melakukan apa yang kita anggap sebagai suatu kebenaran. Hati nurani menjatuhkan penilaian atas tindakan kita dengan mengeksekusi penilaian itu di dalam jiwa kita. Sesungguhnya suara hati merupakan penilaian moral mengenai manusia dan perbuatan-perbuatannya, suatu penilaian untuk menyatakan tidak bersalah atau mengutuk dengan berdasarkan dari apakah perbuatan itu selaras atau tidak dengan hukum Allah yang tertulis dalam hati.[1]
  A. Pengertian Hati Nurani
            Hati nurani berasal dari bahasa Inggris yakni conscientia berasal dari kata Latin conscientia, dengan dua suku kata con yang berarti “dengan” atau “bersama” dan kata scire yang berarti “mengetahui”. Berdasarkan arti etimologisnya, hati nurani berarti mengetahui dengan atau mengetahui bersama. O. Hallesby, Seorang ahli teologi Norwegia merumuskan hati nurani sebagai kesadaran atau suatu hukum yang kudus, yang jauh melebihi yang dimiliki manusia.[2] Sedangkan Immanuel Kant mengartikan hati nurani sebagai salah satu bagian dalam diri setiap orang yang sedia atau tidak sedia menanggapi hukum moral yang universal yang sebenarnya adalah hukum moral Allah.[3] Katekismus Gereja Katolik merumuskan hati nurani sebagai keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah suatu perbuatan konkret yang direncanakan, sedang dilaksanakan atau sudah dilaksanakan. Dari beberapa pengertian di atas, hati nurani dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang dianugerahkan Allah kepada manusia, agar manusia mampu membedakan hal yang baik dan hal yang buruk dan bertindak secara tepat. Hati nurani merupakan kesadaran personal yang berperan dalam situasi konkret untuk mengetahui, mengenal, menyaksikan, menilai dan mengadili.
  B. Penilaian Hati Nurani
            Penilaian hati nurani adalah suatu penilaian praktis. Suatu penilaian yang menyebabkan diketahuinya apakah perbuatan itu harus dilakukan seseorang atau tidak boleh dilakukannya atau menilai suatu perbuatan yang telah dilakukan. Hati nurani membuka tuntutan yang obyektif dan universal dari kebaikan moral menjadi suatu perintah batin bagi individu dan suatu ajakan untuk melakukan apa yang baik dalam situasi tertentu. Hallesby mengungkapkan bahwa hati nurani tidak dapat bertindak, melainkan hanya dapat menyampaikan penilaian.[4] Hallesby menguraikan penilaian hati nurani dalam empat cara yaitu pertama, penilaian itu yang terakhir dan tidak memihak. Hati nurani tidak mempertimbangkan bukti, tetapi hanya membuat penilaian pribadi sekaligus tidak memihak, sebab ia menerima informasi yang diberikan kepadanya dan menyatakan penilaiannya. Kedua, hati nurani tidak dapat dibantah dan dapat dibawa naik banding. Sekali telah berbicara, hati nurani tidak dapat diyakinkan, dibujuk atau diperintah untuk mengubah penilaiannya. Ketiga, hati nurani bersifat pasti, yaitu memberikan penilaiannya dan tidak memberikan alasan-alasannya. Ia tidak menjelaskan mengapa ia menilai suatu tindakan dengan cara tertentu, tetapi hanya menyatakan bahwa tindakan itu benar atau salah. Keempat, hati nurani bersifat individual. Hati nurani seseorang tidak dapat menilai sesuatu dengan cara yang persis sama seperti hati nurani orang lain menilai sesuatu. Hati nurani berbicara hanya kepada satu individu, tidak kepada seorangpun yang lain dan ia dipengaruhi oleh pengajaran atau pengalaman yang khas dari individu tersebut.[5]
            Penilaian hati nurani tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan kita. Objek penilaian hati nurani sangatlah beragam. Hati nurani menilai kata-kata kita, yakni apa yang telah kita katakan dan cara bagaimana kita mengatakannya. Penilaian itu menurut kejujuran, kasih dan kebaikan yang dinyatakan melalui komunikasi kepada orang lain. Selain menilai kata-kata kita, hati nurani juga menilai pikiran-pikiran kita. Manusia sering kali menekan hati nuraninya pada titik ini. Hal ini terjadi karena belum terjadi suatu tindakan yang dapat dilihat dan juga pikiran sering menjadi kacau serta dapat berlalu begitu cepat. Hati nurani bekerja pada pikiran-pikiran yang secara terus menerus timbul dan tenggelam, pola-pola yang berlangsung lama dan sesaat ataupun yang mengandung bahaya. Hati nurani memperingatkan kita pada saat pola pikiran tersebut muncul. Hati nurani juga menilai sikap-sikap kita. Sikap-sikap adalah semua perasaan atau pendapat kita tentang hal-hal tertentu misalnya kita menyimpan sikap-sikap kasih, benci, simpati, amarah, ketidakprihatinan dan sebagainya. Sikap-sikap tersebut berada pada satu tingkat di bawah pikiran-pikiran yang sadar. Hati nurani menelusuri serta menilai semua sikap yang muncul tersebut. Akhirnya, hati nurani menilai motivasi-motivasi kita. Motivasi merupakan alasan-alasan langsung yang mendasari suatu tindakan tersebut dinyatakan. Suatu motivasi yang benar akan menghasilkan suatu tindakan yang baik atau tepat. Hati nurani akan menilai apakah motivasi yang muncul bertentangan atau sesuai dengan hukum moral yang berlaku.[6]
            Hati nurani berfungsi setiap saat, tetapi kekuatan dan kemampuannya untuk mempengaruhi berubah-ubah. Fungsi suara hati dalam menilai tidak selalu berjalan tetap. Dalam keadaan tertentu ia berbicara dengan lemah dan kadang-kadang dengan sangat keras dan jelas. Hati nurani biasanya sulit menilai sebelum suatu tindakan direncanakan dimulai. Seberapa kuat ia berbicara sangat dipengaruhi oleh informasi yang telah dimasukan dalam pikiran kita. Tetapi, selama suatu tindakan sedang dilakukan, hati nurani biasanya berada pada tingkat pengaruh yang paling lemah. Hal ini terjadi sebab kita sering terlalu fokus untuk terlibat dalam apa yang sedang kita kerjakan, sehingga membuat kita tidak peka terhadap jeritan hati nurani kita. Hati nurani berbicara dengan sangat keras setelah suatu tindakan itu selesai. Hati nurani membuat penilaian dan mendesak kita membuat restitusi atas kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh tindakan itu.[7]

KESIMPULAN
            Hati nurani merupakan anugerah universal dari Allah. Dalam hati, setiap manusia sebelum bertindak atau melakukan sesuatu, ia sudah mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut  walaupun taraf kesadaran dari setiap manusia berbeda-beda. Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis, pada saat itulah kata hati akan menilai apakah perbuatan itu baik atau buruk. Penilaian suara hati mempunyai corak mewajibkan di mana manusia harus bertindak sesuai dengannya. Jika manusia bertindak melawan penilaian tersebut maka ia akan dihukum oleh hati nuraninya sendiri yang merupakan norma terakhir dan moralitas pribadi. Penilaian tindak membentuk hukum melainkan memberi kesaksian mengenai otoritas dari hukum alam dan akal praktis dengan menunjukkan kebaikan tertinggi.[8]

REFLEKSI KRITIS
            Suara hati sebagai penilaian dari suatu perbuatan, tidak luput dari kemungkinan untuk keliru. Konsili Vatikan II mengungkapkan bahwa “akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa suara hati tersesat. Santo Paulus juga menasihatkan kepada kita bahwa suara bukanlah suatu penilaian yang tidak dapat keliru, suara hati dapat melakukan kesalahan. Namun kekeliruan itu terjadi atas ketidaktahuan yang tidak dapat diatasi atau tidak disadari oleh si pelaku. Suara hati sebagai penilaian konkrit yang terakhir memperoleh martabatnya apabila hati nurani memperoleh kebenaran. Kebenaran yang diperoleh tersebut merupakan suatu kebenaran yang obyektif  bukanlah secara subyektif, sebab suatu kebenaran yang diakui secara subyektif hanya akan menimbulkan kesesatan. Dengan demikian, untuk dapat memperoleh penilaian hati nurani yang benar atas suatu tindakan, hati nurani perlu mendapat pelatihan yang secara terus menerus dengan membiasakan diri untuk mendengarkan secara cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani.

Daftar Pustaka               
Hallesby, O. Conscience. London: Inter-Varsity Press, 1950.
Yohanes Paulus II. Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran). Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
While, Jerry. Kejujuran, Moral dan Hati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.





[1] Yohanes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), no. 120.
             [2]  O. Hallesby, Conscience (London: Inter-Varsity Press), hlm. 14.
[3]  Jerry While, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 13-14.
             [4]  O. Hallesby, Conscience..., hlm. 29-30.
             [5]  Jerry While, Kejujuran..., hlm. 61-17.
[6]  Jerry While, Kejujuran…, hlm. 22-23.
[7] Jerry while, Kejujuran…, hlm. 20.
[8] Yohanes Paulus II, Ensiklik…, no. 121.

Rabu, 14 November 2018

Budaya Lamaholot- kereligiusitasan kesenian



KESENIAN BUDAYA LAMAHOLOT

1. PENDAHULUAN
Suku lamaholot adalah salah satu komunitas yang terdapat di kabupaten Flores Timur yang terdiri dari Larantuka, Solor, Adonara dan sebagian lagi dari kabupaten Lembata (kecuali etnik Kedang). Masyarakat Lamaholot bernaung di bawah satu keyakinan dengan sebutan Lera Wulan Tanah Ekan yang merupakan wujud tertinggi kepercayaan mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Masyarakat Lamahohot terkenal dengan beragam budaya dan kesenian yang adalah warisan dari para leluhur mereka. Hampir setiap daerah memiliki budaya dan kesenian yang sama walaupun terpisah daratannya. Kesenian yang dimiliki masyarakat Lamaholot ini sebagian besar telah mengalami pergeseran makna seiring berjalannya waktu. Namun ada juga yang mempertahan makna asli yang diwariskan oleh para leluhur mereka.Tulisan ini mengedepankan garis besar budaya Lamaholot dalam bidang kesenian dengan memberikan klasifikasi apakah tergolong dalam hal-hal yang bersifat religius/sakral ataukah bersifat profan untuk dijadikan bahan pengetahuan.

2. ISI
2.1 Kesenian yang Bersifat Religius/Sakral
2.1.1 Tarian
a.       Tarian Hedung
Tarian Hedung merupakan tarian perang. Menurut sejarahnya, pada zaman dahulu sering terjadi perang tanding, baik antar suku maupun antar kampung. Sebelum berangkat ke medan perang, mereka terlebih dahulu berkumpul untuk melakukan tari hedung dan ritual agar diberikan keselamatan dan kemenangan dalam peperangan. Selain itu, Tarian Hedung dimakanai oleh masyarakat Lamaholot sebagai penghormatan kepada leluhur dan juga sebagai tarian penyambut dalam sebuah serimonial tertentu.
b.      Tarian Hama/hamang
Tarian ini bersifat religius karena bertujuan untuk memberi penghormatan serta mengenang roh-roh nenek moyang, yang bagi masyarakat Lamaholot mempunyai jasa besar untuk kehidupan mereka.
Berdasarkan pada sejarahnya, tarian ini beasal dari nama orang yaitu Hama yang kemudian dijadikan sebagai nama salah satu suku yakni suku Namang.[1]

c.       Tarian Namanigi
Berasal dari daerah Lamatou. Tarian ini dibawakan oleh pria dan wanita dalam membuka atau bahkan menutup sebuah ritual. Tarian ini bukan sekedar sebagai penghibur melainkan menghantar orang untuk masuk dalam ritual yang akan dilaksanakan.
d.      Tari Muro Ae
Tarian ini pada awalnya dilakukan pada saat penyambutan tamu agung kerajaan. Dalam perkembangannya tari Muro Ae masuk dalam ritual khusus perkawinan yakni jemput dan antar pengantin.Tarian ini hanya dilakukan oleh kaum wanita.

2.1.3  Alat Musik
Alat musik tradisional masyarakat Lamaholot yang mempunyai sifat religiusitas yaitu:
Ø  Gong Ina
merupakan gong induk yang memiliki ukuran yang besar
Ø  Gong Ana
Anak Gong yang mempunyai ukuran yang lebih kecil dan biasanya berjumlah tiga samapi lima buah.
Ø  Gong Amalake
Mempunyai ukuran yang sama dengan gong Ana tetapi mempunyai bunyi yang berbeda.
Ø  Geda/gendang
Biasanya Terbuat dari kulit kambing dan memiliki ukuran yang cukup besar, sedangkan kayunya dari batang pohon lontar.

2.1.4 Busana Adat
a.       Kwatek
Sarung yang dipakai oleh kaum wanita dan merupakan pakain resmi dalam adat istiadat masyarakat lamaholot misalkan ketika mengikuti ritual-ritual tertentu dan juga dipakai dalam tarian hedung.Proses pembuatan Kwatek memakan waktu yang cukup lama karena bergantung pada musim berbunga dari pewarna(kerore) dan bergatung pada musim berbuah kapas.
Kereligiusannya terletak pada corak motif yang tergambar serta warna pada sarung tersebut. Setiap corak motif mempunyai makna tersendiri yang sangat mempengaruhi penggunaanya, artinya harus sesuai suasana yang tepat.
b.      Nowi’n
Sarung yang digunakan oleh kaum pria. Penggunaan Nowi’n sama dengan Penggunaan Kwatek pada kaum wanita. Kedua Tenunan Tradisional Ini menjadi  busana resmi bagi masyarakat lamaholot.[2]


c.       Snuji
Busana yang dipakai oleh kaum wanita dan pria dalam tarian adat seperti dalam tarian Namanigi. Pakaian ini mempunyai sisi religiusitas yang tinggi sebab mempunyai motif yang terlihat cukup seram yang menggambarkan relasi antara roh-roh para leluhur. Warna dasarnya ialah hitam keabu-abuan.

2.1.5 Seni arsitektur dan ukir tradisional
a.       koko/korke
Dalam melaksanakan segala ritual yang berkaitan dengan Lera Wulan Tana Ekan, masyarakat Lamaholot mendirikan rumah adat yang disebut dengan koko/korke.[3] Setiap kampung memiliki korke atau rumah adatnya masing-masing. Kontruksi rumah adat ini berupa bangunan tinggi dengan atap lancip yang terbuat dari alang-alang. Korke berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka milik suku dan juga sebagai tempat kebaktian pelaksanaan berbagai ritus adat dan pusat sosialisi atau pertemuan dari setiap kepala suku.
Korke merupakan “gereja’ tradisional leluhur, pusat pengharapan dan penghiburan mereka. Upacara ritual keagamaan dilakukan di korke yang berfungsi sebagai ‘rumah ibadah” dan tempat para sesepuh adat bermusyawarah mengenai masalah atau persoalan penting suku tentang urusan agama dan adat.[4]
b.      Seni ukir pada dinding korke
Ukiran yang terdapat pada beberapa bagian kayu rumah adat secara filosofis mempunyai arti penting, selain keindahan. Ukiran itu umumnya memiliki makna religius dan kosmos karena hanya dilakukan seniman yang paham tradisi setempat. Terdapat berbagai jenis ukiran yang pada umumnya melambangkan kehidupan seperti pohon-pohon, air, ular, ayam, cecak dan berbagai jenis binatang lainnya yang agak sulit dipahami.
c.       Nuba Nara
 Nuba Nara merupakan sebuah batu yang dibentuk sedemikian rupa oleh Masyarakat Lamaholot untuk dijadikan meja persembahan atau altar.
Tanda atau simbol kehadiran Wujud Tertinggi Lera Wulan Tanah Ekan, diimani lewat Nuba Nara.[5] Nuba Nara menurut pandangan masyarakat Lamaholot yang belum mengenal gereja adalah sebagai tempat suci di mana mereka dapat menyampaikan permohonan, misalnya: mendatangkan hujan, supaya panen berhasil, terhindar dari segala penyakit, terhindar dari bencana alam yang merugikan hidup mereka dan menang dari perang. Dari pandangan masyarakat Lamaholot terhadap Nuba Nara ini membawa sisi religiusitasnya hingga saat ini.
d.      Seni ukir Neak.
Neak adalah salah satu alat minum Tradisional yang terbuat dari tempurung kelapa tua. Bentuknya seperti piala. Penggunaan alat Neak ini sebagai alat minum arak pada saat upacara adat dan hanya dikhususkan pada orang tertentu seperti para ketua suku dan pembesar lainnya.
e.       Seni ukir Knume (parang)
Parang dalam kebudayaan masyarakat lamaholot terdapat beberapa jenis salah satunya ialah Knume Bliwa (parang perang) yang digunakan oleh masyarakat Lamaholot dalam tarian hedung. Parang ini berukuran panjang dan sedikit melengkung. bagi masyarakat di daerah Tanjung Bunga, parang ini hanya dapat digunakan pada saat ritual adat berlangsung.

2.1.6 Seni Suara Tradisional
a.       Maraboka
 Maraboka merupakan sebuah lagu yang biasa dibawakan oleh masyarakat Lamaholot terlebih khusus dari dareah Lamatou dalam acara adat tertentu seperti dalam upacara perkawinan, upacara oho ana (permandian) dan juga ketika ingin berhubungan dengan roh-roh nenek moyang.. Maraboka adalah syair lisan yang dibawakan oleh orang tertentu yang mempunyai kharisma tersendiri. Pada umumnya merupakan warisan dari para leluhur mereka.
b.      Opak
Lagu ini dibawakan pada saat saat upacara kebesaran suku yang bisa dibawakan oleh ketua suku atau mereka yang mempunyai kemampuan dalam bidang ini. Opak dibawakan pada saat upacara adat ola ma (garap lahan), pula ma (manen dan membersihkan padi) juga dalam upacara hode ana (jemput pengantin).
c.       Hoke
Sejenis syair lagu yang dibawakan oleh ketua suku atau orang yang telah dikaruniai kemapuan dari para leluhurnya, dalam upacara penyambutan tamu kebesaran. Dalam perkembangannya, lagu ini dibawa juga oleh masyarakat Lamaholot di daerah Tanjung Bunga dan Lewolema ketika menerima imam baru. Selain sebagai tanda penghormatan bagi tamu, lagu ini juga akan membawa kita pada sisi religiusnya yakni mengucap syukur kepada Sang Penguasa Bumi.

2.2  Kesenian yang Bersifat Profan
2.2.1 Tarian
a.       Tarian Dolo-dolo
Tarian Dolo-dolo identik dengan lamaholot dan merupakan salah satu tarian yang populer bagi masyarakat Flores Timur, lembata, adonara dan Solor. Tarian ini dikategorikan sebagai tarian massal yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat dari semua kalangan. Pada zaman dahulu, tarian dolo-dolo sangat menonjol bagi kaum muda mudi sebagai arena perjumpaan untuk membangun persahabatan dan menemukan jodohnya.
Dalam tarian ini, setiap peserta akan saling mentautkan jari kelingking dan membentu lingkaran. Para peserta akan saling melantunkan pantun dan saling berbalas-balasan. Selama masih bisa berbalas-balasan tarian ini tidak akan berhenti. Tarian ini lebih bertujuan pada rekreatif dan untuk menggembirakan suasana.
b.      Tarian Kote/Gasing
Tarian ini muncul dari permainan gasing atau kote yang biasa dilakukan oleh anak-anak remaja di depan pelataran korke.[6] Khusus dari daerah Tanjung Bunga tepatnya di desa Lamatou tarian kote dijadikan sebagai ajang perjudian untuk memperebutkan seorang gadis. Tarian ini lebih pada sebuah permainan yang besifat rekreatif.
2.2.2 Alat musik tradisional
a.       Gambus
Gambus merupakan salah satu alat musik tradisonal masyarakat Lamaholot yang tidak memiliki sifat religius. Penggunaan alat musik gambus tidak pada orang tertentu tetapi berlaku untuk semua kalangan. alat musik ini dapat digunakan untuk mengiringi setiap tarian baik yang bersifat religius maupun profan.
b.      Letto
Letto adalah salah satu jenis alat musik yang berasal dari daerah Adonara. Fungsi alat musik ini bukan sebagai pengiring tarian atau lagu tetapi bunyinya digunakan untuk memanggil orang untuk berkumpul.Biasanya di pasang di kebun dan bunyinya sebagai tanda memulai suatu kegiatan di kebun.
2.2.3 Perhisan Tradisional
a.       Nille (manik-manik)
Nille merupakan alat perhiasan tradisonal yang di kenakan pada leher kaum wanita. Pada zaman dahulu nille mempunyai makna religius yang tinggi karena hanya dikenakan pada orang tertentu yakni wanita-wanita dewasa dan digunakan dalam tarian adat. Tetapi Dalam perkembangan waktu sisi religius atau kesakralannya hilang akibat penggunaan nille secara bebas bagi semua kalangan.
b.      Kala bala
Kala Bala (Gelang dari gading)  merupakan salah satu jenis perhiasan bagi kaum wanita yang semakin populer saat ini. Kepopulerannya dan pemakaian oleh semua kalangan masyarakat membuat Kala Bala kehilangan sisi religiusnya. Pada zaman dahulu Kala Bala hanya dipakai oleh kaum wanita yang akan beranjak dewasa. Kala Bala sebagai simbol kedewasaan seseorang mengalami pergeseran makna menjadi sebuah perhiasan semata.


3. PENUTUP
Hidup manusia tidak dapat dipisahkan dari budaya. Budaya merupakan salah satu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagai bentuk warisan dari para leluhur, warisan itu tidak selalu bersifat tetap namun dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Masyarakat Lamaholot memiliki berbagai jenis kebudayaan yang dijadikan sebagai kekayaan mereka. Sebagai makluk yang berbudaya, masyarakat Lamaholot mampu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan mereka yakni salah satunya kita temukan dalam kesenian budaya Lamaholot yang terdiri dari seni tari, seni musik, seni arsitektur dan ukir, seni suara dan sebagainya yang masih dapat bertahan hingga saat ini. Setiap kesenian daerah selalu memiliki makna tersendiri bagi mereka yang telah diamanatkan oleh para leluhur mereka. Makna religiusitas dari suatu kesenian membuat masyarakat Lamaholot semakin menghargai serta menjaga kelestarian budaya mereka.
Harus juga diakui bahwa sisi religiusitas atau kesakralan dari suatu kesenian, suatu waktu akan mengalami pergeseran makna sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern . Ini merupakan suatu tantangan yang harus dihadapai oleh masyarakat Lamaholot dalam mempertahan sifat religius kebudayaan mereka.






Bibliografi
Ataladjar, Thomas B. Dari Tanah Nubanara Menuju Tanah Misi. Jakarta:          koker, 2015.
Hurit, Silvester Petala (ed.). Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur(Lamaholot). Ende: Nusa Indah, 2015.













[1]  Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah Nubanara Menuju Tanah Misi (Jakarta: Koker, 2015), hlm. 79.
 [2]  Silvester Petala Hurit, et al (ed.), Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur (Lamaholot) (Ende: Nusa Indah,2015), hlm. 117.
[3]   Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah…, hlm. 100.
[4]   Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah…, hlm. 109.
[5]   Thomas B. Ataladjar, Dari Tanah…, hlm. 101.
[6]  Sivester Petala Hurit, et al (ed.), kumpulan…, hlm. 159.

Sejarah Kristiani-aliran febronianisme








FEBRONIANISME
Pengantar
Hubungan antara Gereja dan negara selalu mengalami persoalan sepanjang sejarah.Pertentangan antara kedua pemimpin tersebut, baik raja maupun paus berlandaskan pada pengakuan otoritas yang mereka miliki.Pengakuan atas otoritas kepausan dalam Gereja mendapat perlawanan dari pihak negara dan juga datang dari pihak Gereja itu sendiri. Perlawanan terhadap sentralisasi dan infabilitas kepausan muncul secara terang-terangan  sekitar abad ke-18, yang berkembang dari Perancis menuju ke Jerman. Pada masa ini, muncul berbagai macam gerakan yang berusaha mengembalikan cara pandang yang benar atas otoritas paus sesuai dengan kitab suci dan tradisi kuno Gereja.Pandangan bahwa paus bukan di atas segala-galanya, mendorong para teolog dan kanonis untuk membuat penelitian berkaitan dengan kedudukan historis kepausan. Salah satu tokoh asal jerman yang melakukan penelitian berkaitan dengan kedudukan otoritas kepausan ialah seorang uskup Auxsilier Trier dengan nama samaran Justinus Febronius. Dibawah pengaruh aliran Galikanisme, Febronius menghasilkan sebuah tulisan mengenai keadaan Gereja dan kekuasaan sah yang dimiliki paus sebagai uskup Roma.Ia memandang bahwa otoritas kepausan telah diperluas melampaui batas-batas yang sebenarnya.Penelitiannya membuktikan bahwa otoritas tertinggi dalam Gereja kuno, bukanlah terletak pada paus, melainkan pada uskup dan konsili-konsili.Pandangan Febronius tersebut dituangkan dalam sebuah buku dan berhasil disebarluaskan dengan cepat.[1]Pembahasan infabilitas paus menimbulkan pro-kontra dalam kalangan Gereja dan negara.Munculnya gerakan ini memberi peluang besar bagi pemerintah sipil untuk semakin menguasai Gereja, sebab pada masa ini Gereja dikaitkan dengan negara federal.Sebagian besar uskup diangkat dari para pangeran kerajaan yang menginginkan jabatan ganda.[2]Meskipun mendapat dukungan penuh dari pemerintah sipil, namun pandangan tersebut ditolak secara jelas dari pihak Gereja.Takhta suci dengan tegas menentang tulisan  Febronius dan mencegah penyebaran bukunya.
Situasi Gereja Abad ke-18
Abad ke-18 merupakan masa yang sangat sulit bagi semua Gereja kristen, khususnya Gereja Katolik Roma. Pada abad ini, Gereja Katolik Roma lebih menampakan kemunduran daripada kemajuan atau perkembangan.Jika dilihat dari luar Gereja katolik Roma masih memiliki kekuasaan, sebab Gereja Katolik Roma masih memiliki kekayaan, dukungan negara, dan privilege yang sulit dihitung.Namun, apabila dilihat dari dalam, sebenarnya Gereja mengalami keguncangan, khususnya dalam hal wibawa.Hal ini dapat dilihat dari perselisihan yang muncul setiap tahunnya.Kemunduran ini akhirnya menimbulkan perbedaan yang sungguh-sungguh nyata di dalam kehidupan para imam.Kenyataan ini ditunjukan oleh pemenuhan dunia klerus yang tidak mampu membedakan tuntutan imam yang nyata dengan asesoris-asesoris yang hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan Gereja dan agama.Posisi yang enak tetap dipertahankan oleh Gereja meskipun hal tersebut sebenarnya sudah tidak cocok lagi.Keinginan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sangat nyata dianut oleh tahta suci.Menjadi pemicu timbulnya  gerakan-gerakan pembaharu seperti   Febronius dan Gallikan.Agama harus toleran terhadap semua pemikiran yang ada, khususnya terhadap latihan kesalehan, dogma-dogma, sakramen-sakramen, dan seluruh organisasi klerikal. Gerakan-gerakan yang demikian dapat dihadapi dengan cara tradisional.[3]
Pada situasi ini para pemimpin Gereja katolik tidak memiliki kejelian dan ketajaman yang sangat dibutuhkan pada jaman itu.Misalnya, pengembangan antropologis untuk reorientasi dan untuk menjawab pesan-pesan yang muncul pada saat itu.Para pemimpin Gereja juga tidak tidak mampu membersihkan kekacauan yang berakar pada abad pertengahan yang berkaitan dengan perbedaan antara struktur klerikal riil berdasarkan Injil dan struktur Gereja aristrokratik ancien regime.[4]
Menjelang masa akhir regime kuno, banyak institusi Gerejani yang tidak berfungsi dengan baik.Salah satu sumber ketidakpuasan adalah sistem benefice.Selain itu, perlu dicatat juga persoalan-persoalan dalam sistem monastic.Meskipun, pada saat itu banyak rahib yang hidup dan sungguh-sungguh berusaha menghidupi panggilannya dengan benar.Namun, dunia telah memandang bahwa biara tidak lagi menjadi tempat untuk menghidupi keutamaan Injili.Harus diakui juga bahwa suasana religius dalam tembok biara pada umumnya sangat mengharukan, kecuali ordo-ordo Carthusian, Karmelit, dan Trapis yang menghidupi kehidupannya dengan keras.Dunia sering melihat bahwa kehidupan membiara sebagai bentuk hidup mewah.Sebab biara telah menyediakan uang bagi para biarawan/ I yang menangani tanah yang luas dan proyek-proyek bangunan yang mahal.Meskipun demikian, ordo-ordo Mendikan tidak terlalu dikritik, karena kemiskinan mereka, namun para anggota ordo sedang mengalami krisis kedisiplinan.Pengkritik seringkali menyerang sisi yang lemah ini. Mereka juga menegaskan bahwa ordo sama sekali tidak berguna bagi masyarakat. Di mata mereka hanya ordo-ordo yang membaktikan diri secara husus bagi pendidikan dan perawatan orang sakit yang bisa diterima.Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa pada pertengahan abad ke-18, karena didorong oleh opini publik, pemerintah berusaha menutup sebagian biara.
Situasi yang sama juga dialami oleh imam-imam sekular. Ini disebabkan oleh penyalahgunaan fungsi imam di hadapan masyarakat.Para imam ada yang tertarik pada ajaran Richeristik yang bertujuan untuk mengurangi otoritas kepausan dan para uskup.Ajaran yang dianut oleh para imam ini bermuara pada terciptanya Konstitusi Sipil para imam.Penerimaan ajaran Richeristik difasilitasi oleh keinginan banyak imam demi meminimalisir despotism kepausan dan distribusi pemasukan dari harta Gereja yang tidak adil.Di Prancis misalnya, terdapat ketidakpuasan atas praktek persepuluhan yang diperburuk oleh reaksi feodal para pemiliki tanah.Keretakan juga muncul dari sikap para imam yang hanya menjadi penumpukan kekayaan tanah, sedangkan hak untuk memilikinya tergantung pada keputusan para penguasa.[5]
Berbagai lembaga kekuasaan dalam regime kuno; kekayaan, kewibawaan, dan otoritas moral selalu dipertanyakan secara sistematis.Semua usaha yang dilakukan oleh Gereja untuk memperbaiki situasi tampaknya tidak efektif.Gereja sangat lemah dalam kepemimpinan mengenai peranan Gereja.Hal ini diperburuk oleh pandangan bahwa klerus yang lebih tinggi dalam kepemimpinan bisa dicampuri oleh pemerintah dalam urusan Gerejani.[6]
Justinus Van Hontheim danGerakan Febronianisme
Pembentuk gerakan Febronianisme adalah Johanes Nikolaus van Hontheim. Ia lahir di kota Trier, Jerman pada tanggal 27 Januari 1701. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang selama beberapa generasi berhubungan dengan pengadilan dan pemerintah para Pemilih Trier.[7] Ayahnya bernama  Kaspar von Hontheim memiliki jabatan sebagai  wakil jenderal dari Pemilih. Perkembangan dan pertumbuhan pengetahuan Hontneim terbentuk dari didikan yang diberikan oleh para Yesuit di Trier. Ia pun  mengambil pendidikan  di Universitas Louvain dalam bidang hukum kanonik. Gurunya van Espen adalah seorang Jansenis. Van Espen menganggap semua uskup setara dengan paus dan berusaha meningkatkan kewibawaan sipil, dengan mengorbankan otoritas Gerejawi.[8]  Selama  studi di universitas van Leuven, Hontheim mendapatkan pengaruh Galikan yang menantang sistem monarki di dalam Gereja Katolik Roma.Hal  ini membawa Hothenheim pada pandangan baru untuk mencari cara menurunkan sentaritas kedudukan paus di Roma.Hontneim  mengambil  sebagian dasar prinsip-prinsip Gallikan,  selama mengejar studinya di Louvain. Dia mengembangkan dalam karya ini sebuah teori organisasi Gerejawi yang didirikan pada penolakan konstitusi monarki Gereja. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi rekonsiliasi badan-badan Protestan dengan Gereja dengan mengurangi kekuatan Tahta Suci. Kecerdasan yang dimiliki dan ketekunannya membawa dia pada sebuah petualangan keberbagai daerah Eropa. Melalui petualangan di berbagai daerah Eropa Hotheim sampai di Roma. Beberapa tahun kemudian ia ditahbiskan sebagai imam Gereja katolik Roma. Ia menjadi profesor hukum sipil di Universitas Trier pada 1734 dan sebagai imam ia pernah menjabat sebagai pastor paroki di Koblenz dan Trier pada 1739. Pada 1748 ia diangkat sebagai pembantu uskup dan vikaris jenderal Trier.[9]
 Empat belas tahun kemudian atas usulan para uskup ia memulai sebuah penelitian yang berpusat pada pencarian kedudukan historis kepausan.  Dalam proses penelitian, ia menyelidiki teks-teks kuno perihal cikal-bakal kekuasaan paus serta tata tertib organisasinya dan struktur pemerintahannya. Pekerjaan ini pun menjadi kesempatan baginya untuk mempelajari pengaruh campur tangan Kuria Roma dalam urusan internal Kekaisaran, terutama dalam negosiasi yang mendahului pemilihan kaisar Charles VII dan Francis I di mana Hontheim terlibat  sebagai asisten duta besar pemilihan. Tampaknya itu adalah klaim ekstrem dari nuncio kepausan pada kesempatan-kesempatan ini dan campur tangannya dalam urusan lembaga pemilihan yang pertama kali mengusulkan kepada Hontheim bahwa pemeriksaan kritis atas dasar kepausan. Hontheim mengganti namanya dengan nama samaran yakni Justinus Febronius. Kini ia memiliki identitas ganda yakni sebagai pembantu uskup Trier dan nama samaran sebagai Febronius. Hasil studinya dipublikasikan  pada tahun 1763. Judul karya tulisnya ialah De Statu Ecclesae de potestate legitima Romani Pontificis Liber Singularis ad reuniendos dissidentes in religione christanos  compositus ("Mengenai Keadaan Gereja dan Kekuatan Sah dari Paus Roma"). Karya ini kemudian dicetak ulang dengan judul Suplement pada tahun 1765-1770 dan diperlebar hingga lima jilitan.[10]Febronius meninggal di kastil Montquintin pada 1 September 1790 dan meninggalkan banyak tulisan bagi Gereja kuno.[11]

Isi Pandangan Febronius
Secara keseluruhan karya Febronius terbagi dalam sembilan bab. Menurut Febronius,GerejaRoma tidak bergantung pada otoritas Kristus, tetapi pada Petrus, sehingga Gereja memiliki kekuatan untuk menempelkannya pada orang lain. Oleh karena itu, kekuasaan paus harus dibatasi pada hak-hak esensial yang melekat dalam keutamaannya. Paus adalah pusat di mana masing-masing Gereja harus dipersatukan.  Segala kejadian yang terjadi dalam tubuh Gereja harus diberitakan kepada paus.  Paus pun dapat melakukan usaha untuk  pelestarian persatuan. Ini adalah tugasnya untuk menegakkan ketaatan kanon di seluruh Gereja; dia memiliki wewenang untuk menyebarluaskan undang-undang atas nama Gereja, dan untuk mendepak legatus untuk menjalankan otoritasnya sebagai primata. Kekuasaannya, sebagai kepala seluruh Gereja, bagaimanapun adalah karakter administratif dan pemersatu, bukan kekuatan yurisdiksi. Tetapi sejak abad kesembilan, terutama melalui pengaruh Dekrit Palsu dari Pseudo-Isidore, konstitusi Gereja telah mengalami transformasi menyeluruh, di mana otoritas kepausan telah diperluas melampaui batas-batas yang tepat. Selama tiga abad, ultramontanisme telah mengajarkan bahwa paus adalah tuan atas segala tuan atau dengan kata lain sebagai raja absolut.Ia memiliki kekuasaan yang tak terbatas atas Gereja dan semua anggotanya. Hal ini bertentangan dengan dokrin Febronianisme. Dalam buku pertamanya ia mengklaim bahwa Gereja sebagaimana dipahami dalam sejarah pada abad pertama, tidak monarkis, tetapi lebih demokratis. Paus meskipun sebagai kepala Gereja mempunyai otoritas yang terbatas.[12] Kasus seperti pelanggaran keadilan, pertanyaan-pertanyaan yang pada satu waktu yang  seharusnya diserahkan kepada keputusan sinode provinsi dan metropolitan secara bertahap beralih kepada Tahta Suci. Hal yang sama terjadi  pada  kutukan terhadap bidaah, konfirmasi episkopal pemilihan umum, penamaan wakil presiden dengan hak suksesi, pemindahan dan penghapusan uskup, pembentukan keuskupan-keuskupan baru, dan pendirian metropolitan dan primordial, melihat kasus yang terus berkembang ini maka Paus, yang infabilitasnya secara tegas harus ditolak, Paus tidak dapatmengambil sendiri keputusan sendiritanpa dewan atau persetujuan dari seluruh keuskupan. Demikian juga dalam hal disiplin, Paus tidak bisa mengeluarkan keputusan yang mempengaruhi seluruh tubuh orang beriman; keputusan dewan umum memiliki kekuatan mengikat hanya setelah penerimaan mereka oleh masing-masing Gereja. Hukum yang disebarluaskan tidak dapat diubah atas kehendak atau kesenangan paus.[13]
Menurut Febronius, pengadilan banding terakhir di Gereja adalah konsili ekumenis. Paus berada di bawah dewan umum; ia tidak memiliki wewenang eksklusif untuk memanggil seseorang, atau hak untuk memimpin sidang dan keputusan konsili tidak memerlukan ratifikasi. Kehadiran kelompok-kelompok ekumenis adalah kebutuhan mutlak, karena keputusan Paus harus mendapat persetujuan dari mayoritas uskup.semua uskup memiliki hak yang sama; mereka tidak menerima kekuatan yurisdiksi dari Tahta Suci. Febronius menuntut bahwa disiplin primitif, sebagaimana digariskan olehnya harus dipulihkan. Dia kemudian menyarankan sebagai sarana untuk mewujudkan reformasi ini, bahwa rakyat harus tercerahkan dengan baik mengenai hal ini, bahwa dewan umum dengan kebebasan penuh diadakan, bahwa sinode nasional harus diadakan, tetapi terutama bahwa para penguasa Katolik mengambil bersama tindakan, dengan kerja sama dan saran dari para uskup, bahwa para pangeran sekuler memanfaatkan diri mereka dari Regium Placet untuk menolak dekrit, bahwa kepatuhan secara terbuka ditolak sampai batas yang sah. Kesimpulan praktis dari buku ini adalah bahwa perebutan kekuasaan harus diakhiri, disiplin primitif dipulihkan, dan para uskup dapat memanggil penguasa sipil untuk melindungi mereka terhadap paus.[14]
 Identitas Febronius dikenal di Roma segera setelah tulisannya diterbitkan. Febronius, meski seolah-olah berjuang untuk kemerdekaan dan otoritas yang lebih besar untuk para uskup,  hanya berusaha untuk membuat Gereja-Gereja dari berbagai negara yang kurang bergantung pada Tahta Suci, untuk memfasilitasi pembentukan Gereja-Gereja nasional di negara-negara ini, dan mengurangi para uskup untuk suatu kondisi di mana mereka akan menjadi makhluk hanya budak dari kekuatan sipil. Febronius mendesak pembatasan kekuasaan paus dan penundukannya kepada para uskup dan dewan-dewan umum. Motifnya adalah untuk menarik Protestan Jerman ke Gereja Katolik Roma dengan menghapus ketakutan Protestan tentang kepausan. Dia memperkuat motif ini dengan menunjukkan bahwa penguasa tidak tunduk pada paus dan menetapkan bahwa penguasa dan uskup harus menolak kecenderungan Romawi untuk merambah kekuasaan mereka.
Karya J.N. van Hontheim tersebut kemudian disensor. Penyensoran ini menghantarkannya untuk terlibat dalam diskusi panjangdengan para penentangnya. Serangan terhadap pemikiran Febronius muncul dari tokoh-tokoh Gereja dan kaum protestan.[15] Tokoh-tokoh Gereja Katolik yang menentang hadirnya buku Febronius ialah Ballerin bersaudara, Johann Gottfriet Kauffmann Tomaso Mria Mamachi, Ladislaus Sappel, dan Francesco Antoni dan Zaccaria.Zaccaria mendapat hukuman pengasingan dari kota Naples karena menentang hadirnya buku Febronius. Selain itu, ada sanggahan yang ditulis daripara teolog Protestan, untuk menolak gagasan bahwa berkurangnya kekuasaan paus adalah semua yang diperlukan untuk membawa orang-orang Protestan kembali ke dalam persatuan dengan Gereja, misalnya Karl Friedrich Bahrdt, dan Johann Friedrich Bahrdt. Dalam perdebatannya tidak ada seorangpun dari lawan-lawannya yang memaksanya untuk mencabut kembali penegasannya dalam tulisannya hingga tahun 1778. Ide Febronius makin berkembang dan diterima oleh berbagai kalangan. Riset Hontheim pun membuktikan bahwa otoritas tertinggi di dalam Gereja kuno terletak dalam tangan uskup dan konsili. Oleh karena itu, superioritas paus saat ini semata-mata bersifat honori, directionis et inspectionis. Dalam pelaksanaannya paus bertugas sebagai pelaksana keputusan konsili. Selain itu, ia dapat mengawasi pelaksanaan dekrit-dekrit konsili serta dapat mengambil keputusan-keputusan dogmatis dan disipliner. Tetapi keputusan dogmatis dan disipliner itu bersifat mengikat hanya setelah diterima oleh Gereja-Gereja nasional  dan keuskupan-keuskupan.Paus yang tidak menghiraukan ketentuan dan cara main seperti ini berarti perampokan. Oleh karena itu, pada dasarnya harus dikembalikan kepada para uskup. Di sinilah peran dan fungsi kekuasaaan sipil yakni mengambil kembali kekuasaaan yang telah diambil oleh paus. Selain itu penguasa sipil dapat mengambil placet, dan dapat memanggil sinode propinsi serta sinode negara.[16]

Tanggapan dari Roma dan  Perdamaian dengan Hotheim
Tulisan Hontheim merambah ke berbagai daerah dan menjadi terkenal di Roma. Buku ini secara resmi dikutuk, 27 Februari, 1764, oleh Paus Clement XIII. Dengan sebuah Brief tanggal 21 Mei 1764, paus memerintahkan Jerman untuk menekan penyebaran buku ini.   Perintah paus hanya diikuti oleh sepuluh prelatus yang tergolong sebagai Pemilih Trier. Sementara itu tidak ada langkah yang diambil terhadap Hotheim meskipun karya tulisannya telah menyebar di Roma. Terlepas dari pelarangan Gereja, buku Febronius cepat berkembang karena isi tulisannya yang menyalakan semangat pembentukan Gereja nasional . Edisi keduabukunya, direvisi, diperbesar, dan dicetak ulang di Venesia dan Zurich, dan terjemahannya muncul dalam bahasa Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Portugis. Zacaria. Ketidaksukaan sentralisme dan Katolik Roma ultramontane meningkatkan popularitas Febronianism  di Portugal, Spanyol, Belanda Austria, Venice, Tuscany dan Naples. [17]
Setelah Paus Clemens XII wafat  Konklaf pemilihan paus baru terjadi selama 4 bulan untuk memilih pengganti paus. Hasilnya KardinalGianangelo Braschi terpilih sebagai pengganti Paus Clemens XIII. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1758. Kemajuan cepat, ia menjadi bendahara ruang apostolik pada tahun 1766, di bawah Paus Clement XIII, dan pada tahun 1773 dijadikan kardinal oleh Paus Clement XIII. Kepribadiannya yang tidak terlalu menarik dan kecenderungannya untuk  berkiprah lebih pada pengejaran prestasi duniawi tidak membawa prestasi perubahan Gereja ke arah yang lebih baik. Sejak awal kepemimpinannya, Paus PiusVI menghadapi kesulitan dalam mempertahankan posisi tradisional Paus. Takhta suci berhadapan dengan opini publik yang semakin membenci kuria dan pemerintah semakin cendrung memaksa paus untuk memberikan persetujuan demi persetujuan untuk memperkuat pengaruh mereka guna mencegah terbentuknya Klerus nasional yang salah satunya tertuang  dalam tulisan Febronius.
Pada masa Paus Pius VI terjadi tindakan khusus bagi Hotheim. Langkah awal yang diambil oleh Paus Pius VI adalah mendesak Clemens Wenzeslaus, Pemilih Trier, untuk menjadi uskup di Tier. Clement Wenzeslaus berasal Polandia. Clement merupakan cucu dari Kaisar Joseph I. Ia diangkat  menjadi uskup Trier pada bulan Februari 1768. Harapan Paus terhadap aksi Clement nampaknya belum berhasil karenaClement terus melindungi Hontheim meskipun identitas tambahannya sebagai Febronius dikenal duta kepausan yakni kardinal Oddi. Pada 1775 Clement Wenzeslaus meminta pendapat para imam Perancis untuk untuk membentuk suatu kesatuan antara negara danGereja. Dalam perakitan pemahaman pada saat itu dihasilkan suatu kesimpulan dari para imam Perancis yakni  menolak Febronianism. Menurut pandangan mereka gerakan Febronius jauh melampaui Gallicanism. Penolakan terhadap tulisan Febronius juga lahir dari para pendeta  Protestan. Bagi mereka keutamaan untuk membangun kembali relasi dengan Gereja Katolik Roma tidak terutama karena penurunan sentralitas Paus saja melainkan pada masalah mendasar antara Gereja Katolik dan konfliknya dengan Gereja-Gereja Kristen. Pertemuan ini berhasil menjelaskan 30 keluhan terhadap takhta suci.[18]
Perjuangan uskup Wenzelaus nampaknya hanya berlaku di keuskupannya sebab di keuskupan-keuskupan lain terbentuk upaya untuk mewujudkan kesatuan antara Gereja dan negara.Konferensi Coblenz 1769, menjadi tanda untuk menerapkan prinsip-prinsip Febronian yang dibuat di Jerman.Konfensi ini dipimpin oleh Hotheim dan dihadiri oleh tiga pemandu Gerejawi yakni Mainz, Cologne, dan Trier yang terwakili dalam delegasi mereka.Dibawah arahan Hontheim, konferensi ini pun berhasil  menyusun daftar tiga puluh pengaduan terhadap Gereja Roma yang asas-asanya sesuai dengan prinsip "Febronius" "Magazin zum Gebrauch der Staaten- und Kirchengeschichte ". Yang lebih penting adalah Kongres Ems tahun 1786, di mana tiga pemuka Gerejawi dan Pangeran-Uskup Salzburg, meniru Kongres Coblenz, dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar "Febronius", membuat upaya baru untuk menyesuaikan kembali hubungan Gereja Jerman dengan Roma, dengan maksud untuk mengamankan yang pertama ukuran kemerdekaan yang lebih besar.Mereka juga memiliki perwakilan mereka yang menyusun Ketetapan Ems dalam dua puluh tiga artikel. Namunmereka mencapai hasil yang tidak praktis. Suatu usaha dibuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip "Febronius" dalam skala besar di Austria, di mana di bawah  arahan Kaisar Joseph II terbentuklah sebuah Gereja nasional didirikan sesuai dengan rencana yang digariskan. Upaya ke arah yang sama dibuat oleh saudara laki-laki Joseph, Leopold, di Grand-Duchy of Tuscany miliknya. Resolusi yang diadopsi di Sinode Pistoia, di bawah Uskup Scipio Ricci, sepanjang garis-garis ini, ditolak oleh mayoritas uskup di negara itu.[19]
Uskup Trier, Wenceslas akhirnya mengancam untuk mencabut jabatan Hontheim sebagai pembantu uskup jika Hotheim tidak menarik tulisannya. Ancaman uskup Trier juga terarah pada semua kerabat Hotheim yang turut bekerja bersama Hotheim.Setelah mendapat teguran dari Uskupnya Hotheim melakukan korespondensi dan menandatangani surat pengakuan yang diberikan oleh  Wenceslaus. Penandatangan ini menjadi suatu  pengakuan kesalahan dari Hotheim kepada Tahta Suci.  Meskipun Hontheim masih menolak untuk mengakui isi tulisannya yang mengarah  pada usaha membentuk kesatuan antara  pemerintah  dan negara.Kardinal Lauchert  yang melihat sikap penyangkalan ini, menilai pengakuan kesalahan Hontheim itu tidak tulus. Keengganan Hontheim mengakui isi tulisannya dikomunikasikan kepada para kardinal di konsistori oleh Pius VI pada Hari Natal. Bahwa retraksi ini tidak tulus. Hontheim  menghasilkan beberapa gerakan-gerakan berikutnya, yakni Salah satunya ialah tulisan Hontheim dengan judul “Justini Febronii Commentarius in suam Retractationem Pio VI. Pont. Max. Kalendis Nov. anni 1778 submissam” (Frankfort, 1781; German ed., Augsburg, 1781). Buku  ini  ditulis untuk tujuan membenarkan posisinya di depan publik. Terlepas dari sikap Hontheim dan pandangan beberapa kardinal tentangnya, Hontheim kemudian didamaikan dengan Gereja Katolik Roma sebelum kematiannya.[20]

Penyebaran Febronianisme
Permintaan maaf yang disampaikan oleh Hontheim dan perdamaiannya dengan Gereja Katolik Roma ternyata tidak menghentikan pergerakan ajarannya. Negara-negara yang menelan ajaran Febronimus tergolong sebagai negara yang mementingkan tendensi absolitisik penguasa sipil. Lagi pula uskup-uskup dalam Gereja Katolik pada waktu itu berasal dari para pangeran kerajaan. Mencuat dan berkembangnya ajaran Febronius bisa dikatakan sebagai jawaban dari kerinduan para pangeran untuk dapat memiliki kekuasaan ganda dalam negara dan Gereja.  Dengan demikian mereka berusaha meletakan posisi Gereja dibawah kendali penguasa sipil. Negara-negara tersebut ialah pemerintah Perancis, Belanda Austria, Spanyol dan Portugal, Venesia, Austria, dan Tuscany. Negara-Negara ini pun kemudian  menerima pengembangan lebih lanjut ide Gereja nasionalis  di tangan para teolog pengadilan dan kanonis yang menyukai skema Gereja nasional. Para Teologan itu  ialah  profesor Franz Anton Haubs yang menerbitkan rancangannya mengenai Gereja nasional dalam karangan berjudul, "Themata ex histori ecclesiastica de hierarchia sacra primorum V saeculorum" (Trier, 1786); dan "Systema primævum de potestate episcopali ejusque applicatio ad episcopalia quaedam jura di specie punctationibus I. II. Et IV. Congressus Emsani exposita" (Trier, 1788); dan Wilhelm Joseph Castello,  yang mengeluarkan disertasi berjudul, "Dissertatio historica de variis causis, queis accidentalis Romani Pontificis potestas successive ampliata fuit" (Trier, 1788). Perombakan Gereja di Austria terjadi melaui perumusan para kanonis yang berada di Autria yakni Paul Joseph von Riegger, Pehem, dan Johann Valentin Eybel . Mereka  yang paling banyak berkontribusi terhadap penyusunan aturan hukum baru yang mengatur hubungan Gereja dan Negara, yang direduksi menjadi praktik di bawah  Kaisar Joseph II. Yang terutama patut dicatat seperti yang dikandung dalam semangat ini adalah buku-buku teks tentang hukum kanonik yang ditentukan untuk universitas-universitas Austria, dan disusun oleh Paul Joseph von Riegger, "Institutiones juris ecclesiastici" (4 jilid, Wina, 1768-72; sering dicetak ulang), dan Pehem , "Prélectiones in jus ecclesiasticum universum", juga, dengan cara yang lebih jelas, karya Johann Valentin Eybel, "Introductia in jus ecclesiasticum Catholicorum" (4 jilid, Wina, 1777;)[21]
Penyebaran buku Febronius  juga terjadi di Spayol pada tahun 1767. Dewan Kastilia dan jaksa agung di Avia  mendukung dan membuat harga penjualannya menjadi lebih murah sehingga memudahkan orang untuk membelinya. Sedangkan Portugal, mereka tidak hanya mencetak dan menterjemahkannya dalam bahasa mereka, tetapi juga mendistribusikannya serta menyarankan agar setiap orang membacanya. Raja Portugal sendiri mengutip ajaran Febronianisme dalam politiknya untuk melawan masa depan perkembangan Gereja.[22]

Kongres Ems
            Gereja mengadakan sinode reformasi pistoa untuk meredam gebrakan aliran febronianisme, namun nampaknya inisiatif Gereja belum berhasil. Sinode reformasi Pistoia dipimpin oleh  Uskup Scipione de 'Ricci yang ditolak oleh mayoritas uskup negara. Para uskup negara lebih tertarik pada Kongres Ems, di mana terdapat  tiga Gerejadan pangeran dari Cologne, Mainz,Trier dan Pangeran dan Uskup Keuskupan Agung Salzburg. Konfrensi Ems menghasilkan dua-puluh tiga  keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari "Febronius".[23]Selanjutnya disahkan dan dikeluarkan oleh uskup agung dalam  sebuah punctuationyang merupakan suatu perjanjian awal atau kontrak.  Dokumen ini adalah  tuntutan dari para uskup untuk takhta suci. Dua puluh tiga artikel dari dokumen ini dapat diringkas sebagai berikut:Uskup, melalui kuasa yang mereka terima dari Tuhan sendiri, memiliki otoritas penuh atas keuskupan mereka dalam semua masalah dispensasi, otoritas spiritual, dan lain-lain.Peran nuncio kepausan harus direvisi dan dikurangi.Sumpah setia kepada paus, yang diminta oleh Paus Gregorius VII dari uskup, harus diubah sesuai dengan hak para uskup.Biaya dan anuitas yang dibutuhkan untuk pemberian pallium dan untuk konfirmasi sebagai uskup, harus dikurangi. Jika konfirmasi episkopal tidak dikabulkan, seorang uskup harus dapat terus bekerja di bawah perlindungan kaisar.Selama persidangan sebelum naikbanding di hadapan pengadilan archiepiscopal, kepausan harus menjauhkan diri dari intervensi apapun.Meskipun pada prinsipnya, mereka tidak menentang pengadilan banding tertinggi di Roma, lebih baik setiap keuskupan agung memiliki pengadilan banding tertinggi, tergantung pada sinode provinsi.Kaisar diundang untuk mendesak Paus untuk mengadakan dewan nasional untuk menangani pelanggaran yang tidak ditangani oleh Konsili Trente . Melalui ringkasan ini dapat ditemukan hadirnya benih-benih dari ide Febronius yang telah tumbuh dan berkembang dalam pemikiran para uskup dan pangeran di Jerman.[24]

Runtuhnya Gereja Nasional
Buah dari Kongres Ems seakan menutup pintu bagi rekonsiliasi antara Gereja katolik dengan Gereja nasional. Namun  revolusi Perancis melakukan  pecah dan Gereja Jerman turun dalam badai.Tahun  1803 sekularisasi yang dilakukan atas perintah Konsul Prancis mengakhiri ambisi duniawi pejabat Gereja Jerman. Gelombang reaksi setelah gejolak revolusioner terbenam kuat ke arah otoritas tradisional,agama sebagai dalam politik dan bahwa gerakan ultramontane yang sebelum abad itu berakhir, adalah untuk mendominasi Gereja, itu sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang penuh semangat. Selain itu, Gereja nasional yang besar Jerman yang Hamberg memiliki visi  dengan dirinya sebagai primata  tidak menarik bagi para pangeran Jerman. Satu demi satu ini masuk ke setuju dengan Roma, dan Febronianism dari kebijakan agresif mereda menjadi pendapat spekulatif. Karena itu sangat kuat, terutama di perguruan tinggi (di Bonn 1774), dan menyatakan dirinya penuh semangat dalam sikap dari banyak uskup Jerman yang paling terpelajar dan profesor terhadap pertanyaan dari definisi dogma Katolik infalibilitas paus pada tahun 1870. Hal ini, pada kenyataannya, terhadap posisi Febronian bahwa dekrit Konsili Vatikan Pertama sengaja diarahkan, dan diundangkan mereka menandai kemenangan pandangan ultramontane. Di Jerman, memang, perjuangan melawan monarki kepausan dilakukan untuk sementara waktu oleh pemerintah pada Kultur-kampf, kaum Katolik dari berbagai daerah menekan dokrin  Febronianisme. Yang terakhir, namun, karena Otto von Bismarck  telah tenggelam ke dalam sebuah sekte terhormat tapi relatif tidak jelas, dan Febronianisme, meskipun masih beberapa berpegang pada pendapat dalam Gereja dalam bab-bab dan universitas provinsi Rhine, itu praktis punah di Jerman. [25]

Refleksi Kritis
Tanggapan atas sentralisasi dan infabilitas kepausan terjadi dalam Gereja, pada dasarnya diakibatkan karena sistem organisasi kepausan tidak menunjukan kejelasan yang otonom.Ketergantungan Gereja terhadap pemerintah sipil, membuat kewibawaan dan otoritas kepausan tidak diakui sebagai pemimpin tertinggi dalam Gereja.Pengakuan otoritas kepausan tidak secara jelas dicantumkan dalam hukum bahkan belum dijadikan sebagai dogma.Keadaan ini menjadi peluang besar bagi para pemerintah sipil dalam menguasai kepausan.Hal ini mengakibatkan kebebasan hak-hak raja untuk mendominasi para uskup dan para petinggi Gereja lainnya.Munculnya gerakan Febronianisme mendapat pengaruh dari aliran Galikalisme. Awal munculnya Galikan yang kemudian melahirkan Galikalisme politis, diakibatkan karena timbulnya sikap yang condong  menerima campur tangan kekuasaan sipil dalam masalah keagamaan. Pengaruh aliran ini, terus berlanjut dan berkembang menuju Jerman yang kemudian melahirkan aliran yang di sebut dengan Febronianisme. Semasa munculnya gerakan Febronianisme tersebut, Gereja Jerman mengalami kekacauan karena keterlibatan pemerintah sipil dalam urusan keagamaan. Kekacauan semakin bertambah sebab sebagain besar para uskup diangkat dari pangeran kerajaan bahkan akan menjadikan Gereja sebagai sebuah negara federal. Dengan demikian, aliran Galikalisme maupun Febronianisme mempunyai kesamaan, yakni sebagai tanggapan atas kuasa yang diemban oleh pemimpin tertinggi Gereja.Dengan melihat otoritas paus yang melebihi segalanya, Febronius mencoba mengemukakan pandangannya, berdasarkan pada hasil penelitiannya mengenai cikal bakal kedudukan paus dalam Gereja kuno.Ia berpandangan bahwa kekuasaan tertinggi bukan terletak pada paus melainkan pada tangan uskup. Pandangan ini memberikan implikasi bahwa ia menginginkan Gereja dibawah kuasa pemerintah sipil dan memberi peluang besar bagi para uskup yang adalah pangeran untuk mengambil ahli kekuasaan yang telah dimiliki oleh paus.


Dafar  Pustaka

Douglas, J. D. (ed.). The New Internatinonal Dictionary of The Christian Church. Michigan: The Pater Noster Press, 1978.
Heraty, Jack and Assosris, New catholic Encyclopedia, vol. 5. Washintong: The Catholic University Of Amerika, 1967.
Jedin, Hubert (ed.). The History of The Church, vol. VII . London: Burns and dates,   1981.
Kunziger, J..Febronius et Febronianisme. Brussels: Royal Academy of Sciences, 1891.
Kristianto, Eddy. Reformasi dari Dalam. Yogyakarta:Kanisius, 2004.
Kristianto, Edy.Selilit Sang Nabi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Sembiring, Husin. Sejarah Agama Kristiani II. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005  (Diktat).




                [1]J. Kunziger, Febronius et Febronianisme, (Brussels: Royal Academy of Sciences, 1891), hlm. 26.
                [2]Eddy Kristianto, Reformasi dari Dalam (Yogyakarta:Kanisius, 2004), hlm.171.
                [3]Husin Sembiring, Sejarah Agama Kristiani II (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005), hlm. 68. (Diktat).
                [4]Husin Sembiring, Sejarah …, hlm. 67. (Dikta
[5]Eddy Kristianto, Reformasi …, hlm. 170.

                [6]Eddy Kristianto, Reformasi…, hlm. 135-136.
                [7]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 14-15.
                [8]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 13-14.
                [9]Jack Heraty and Assosris, New catholic Encyclopedia, vol. 5 (Washintong: The Catholic Universuty Of Amerika, 1967), hlm. 868.
                [10]Jack Heraty and Assoaris, New catholic …, hlm. 869.
                [11]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 178.

                [12]J. Kunziger, Febronius …, hlm.26-27
                [13]Charles Poulet, A History of The Catholic Church, vol. II (New York: Herder Book, 1935) hlm. 313-314.
                [14]Charles Poulet, A History …, hlm. 315.
                [15]Edy Kristianto, Selilit Sang Nabi (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 149.
[16]  Eddy Kristianto, Reformasi, hlm.169.
                [17]J. D. Douglas (ed.), The New Internatinonal Dictionary of The Christian Church (Michigan: The Pater Noster Press, 1978), hlm. 371.
                [18]Hubert Jedin (ed.), The History of The Church, vol. VII (London: Burns and dates, 1981), hlm. 104-108.
                [19]Hubert Jedin (ed.), The History …, hlm. 112.
                [20]Hubert Jedin (ed.), The History …, hlm. 220-224.
                [21]Hubert Jedin (ed.), The History …, hlm. 264.
                [22]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 70-71.
                [23]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 170.
                [24]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 168-171.
[25]J. Kunziger, Febronius …, hlm. 172-174.